BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Sel Immobilisasi
Sel atau enzim imobilisasi adalah suatu sel yang secara fisik terlokalisasi/terjerat
pada suatu daerah tertentu. Sel/enzim tersebut tetap mempunyai aktivitasnya sebagai
biokatalisator/katalis, serta sel/enzim tersebut dapat dipergunakan secara
terus menerus dan sangat penting untuk proses berkesinambungan.
Sel terimobilisasi adalah suatu sel yang dilekatkan pada
suatu bahan inert dan tidak larut dalam bahan tersebut, misal dalam sodium
alginat atau kalsium alginat. Dengan sistem ini, sel dapat lebih tahan terhadap
perubahan kondisi seperti pH, juga temperatur. Sistem ini juga membantu sel
berada di tempat tertentu selama berlangsungnya reaksi sehingga memudahkan
proses pemisahan dan memungkinkan untuk dipakai lagi di reaksi lain (Sumo dkk.,
1993).
Immobilisasi
sel mikroba dibedakan atas 3 macam yakni:
1. Sel
mati: untuk reaksi konversi sederhana (1 tahap)
2. Sel
hidup: untuk reaksi konversi yang melibatkan biokatalis heterogen (multi
enzim)/memerlukan ATP atau biokoenzim seperti NADP atau koenzim A.
3. Sel
dalam fase pertumbuhan: keadaan dimana terdapat aktivitas enzim untuk
pertumbuhan.
Imobilisasi dapat dilakukan terhadap sel maupun terhadap enzim. Imobilisasi enzim
dapat dianggap sebagai metode yang merubah enzim dari bentuk larut dalam air
“bergerak” menjadi keadaan “tak begerak” yang tidak larut. Imobilisasi mencegah
difusi enzim ke dalam campuran reaksi dan mempermudah memperoleh kembali enzim
tersebut dari aliran produk dengan teknik pemisahan padat/cair yang sederhana.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui
pengikatan kimiawi molekul enzim pada bahan pendukung, pengikatan silang
intermolekuler sesama enzim, atau dengan cara menjebak enzim di dalam gel atau
membran polimer (Palmer, 1991).
Imobilisasi sel berkembang setelah imobilisasi enzim.
Dalam teknologi imobilisasi enzim terdapat
hambatan pada regenerasi koenzim dan keterbatasan metode yang dapat diterapkan
untuk menyusun molekul enzim dalam rangkaian tertentu, sehingga dapat melakukan
tahapan reaksi katalitis enzim yang berkesinambungan. Untuk mencegah hambatan
tersebut dilakukan penelitian-penelitian, sehingga terjadi pengembangan pada
imobilisasi sel, yang dapat digunakan sebagai biokatalis. Hal ini memungkinkan
untuk melakukan imobilisasi seluruh sel dan menjaga sel tetap hidup (viabel).
Dalam praktiknya, metode yang digunakan adalah menjebak sel dalam gel dengan
adsorpsi.
Selain itu, pengontrolan perlu
dilakukan untuk mencegah inaktivasi dari aktivitas metabolisme yang penting,
sehingga pemisahan biokatalis dari produk lebih mudah dan membuat biokatalis
lebih stabil (Sumo dkk., 1993).
Dewasa
ini, teknologi immobilisasi memegang peranan penting dalam perkembangan proses
biokimia dalam suatu boreaktor. Sel yang mengalami immobilisasi (immoblized
mivrobial cells) telah banyak diterapkan dalam fermentasi misalnya
produksi alkohol, asam amino, antibiotik atau pada degradasi polutan limbah
cair.
2.1.1 Kelebihan
Sel Immobilisasi
Kelebihan
penggunaan sel immobilisasi dibandingkan dengan sel bebas antara lain sebagai
berikut:
1.
Immobilasi
menyediakan konsentrasi sel yang tinggi.
2.
Immobilisasi
memungkinkan penggunaan sel kembali dan mengurangi biaya recovery sel dan
recycle sel.
3.
Immobilisasi
mengurangi masalah wash out sel pada
laju alir yang tinggi.
4.
Kombinasi
konsentrasi sel yang tinggi dan laju alir yang tinggi (tanpa batasan wash out) menghasilkan produktivitas
volumetric yang tinggi.
5.
Immobilisasi
menyediakan kondisi micro environmental yang
menguntungkan seperti kontak antar sel, gradient nutrient-produk, gradient pH
untuk sel sehingga menghasilkan kinerja biokatalis yang lebih baik (kecepatan
pembentukan dan yield produk yang lebih tinggi).
6.
Immobilisasi
menyebabkan kestabilan genetik.
7.
Immobilisasi
menyediakan perlindungan terhadap kerusakan sel.
2.1.2 Kekurangan Sel Immobilisasi
Kekurangan penggunaan sel terimobilisasi adalah
hambatan pada proses difusi baik substrat maupun produk yang terbentuk. Untuk
sel yang hidup, pertumbuhan dan evaluasi gas sering merusak matriks pendukung
sel terimmobilisasi.
2.1.3
Jenis-Jenis Immobilisasi sel
Secara
umum, ada dua jenis sel immobilisasi yakni:
1. Immobilisasi
Aktif
Immobilisasi ini dilakukan
dengan dua metoda yaitu metoda penjeratan dan metoda pengikatan. Metoda
penjeratan dilakukan secara fisik dalam matriks pendukung. Matriks pendukung
yang bisa digunakan yaitu polimer porous (agar, alginate, carragenan,
polyacrylamide, chitosan, gelatin, collagen), porous metal screen,
polyurethane, silicagel, polystyrene, dan selulosa triacetate. Polymeric beads
harus cukup porous untuk keluar masuknya substrat dan produk. Polymeric beads biasanya dibentuk dengan
menggunakan sel hidup di dalamnya.
2. Immobilisasi
Pasif
Berbentuk biological films yang
berbentuk lapisan-lapisan koloni sel yang tumbuh dan melekat pada permukaan
pendukung yang padat. Material pendukung dapat bersifat inert atau aktif secara
biologis. Biological films digunakan pada pengolahan limbah atau fermentasi
mikroba dengan jamur.
2.1.4
Metode
Immobilisasi
Beberapa ahli menggolongkan metode imobilisasi dengan
tiga kelompok, yaitu: metode carrier binding, metode cross linking,
dan metode entrapping (Sa’id, 1987). Pada metode carrier binding, enzim
diikatkan pada suatu matriks yang bersifat tidak larut adalam air. Sebagai
matriks dapat digunakan bahan organik maupun anorganik. Bila menggunakan metode
ini, hal yang perlu diperhatikan adalah pemilihan matriks dan pengikatan enzim pada matriks
tersebut. Teknik pengikatan enzim pada matriks dapat dilakukan berdasarkan
adsorpsi fisik, gaya elektrostatik atau ikatan kovalen
(Chibata, 1978).
Metode cross linking didasarkan pada pembentukan
ikatan intermolekuler antara molekul-molekul enzim. Gugus fungsional dalam
molekul enzim yang biasa digunakan untuk pembentukan ikatan intermolekmuler
adalah gugus amino pada asam amino terminal, gugus amino dari lisin, gugus
fenolik dari tirosin, gugus sulhidril dari sistein dan gugus imidazole dari
histidin.
Pada metode entrapping, imobilisasi, enzim/sel
didasarkan pada penempatan enzim di dalam kisi dari suatu polimer atau di dalam
membran yang bersifat semi permiabel. Bila enzim ditempatkan dalam kisi, maka
metode yang digolongkan adalah jenis kisi, sedang bila ditempatkan dalam
membran yang bersifat semipermiabel, maka metodenya digolongkan ke dalam jenis
mikrokapsul (Chibata, 1978). Selain itu metode imobilisasi dapat digolongkan
sebagai berikut :
Ø
Adsorpsi
Ø
Penjeratan
dalam matriks polimer
Ø
Penjeratan
dalam membran
Teknik imobilisasi yang paling baik adalah yang memenuhi
kriteria utama tidak terjadi perubahan konformasi enzim dan tidak mengganggu
gugus fungsi di pusat aktif enzim sehingga enzim tetap dapat berfungsi. Metode
penjebakan enzim lebih banyak digunakan karena enzim ada dalam keadaan bebas
dan tidak terikat pada bahan pendukung sehinga secara relatif fungsi katalitik
dan struktur alami molekul enzim tidak mengalami gangguan goncangan
(Wirahadikusumah, 1988).
2.1.5
Penjerat
Atau Pembawa Immobilisasi Sel
Karakteristik yang harus dimiliki oleh penjerat/pembawa
immobilisai sel, antara lain :
a. Mudah digunakan serta ukuran dan porositas media penjerat dapat
dikontrol, terutama pada skala industri.
b. Media penjerat berbentuk matrik stabil pada kondisi fermentasi
(temperature dan pH optimum).
c. Harga murah dan mudah didapat.
d. Mempunyai sifat mekanik yang stabil, sehingga dapat tahan dalam waktu
yanglama dalam reaktor yang digunakan.
e. Penjerat harus inert terhadap mikrorganisme yang akan
dijerat.
f. Substrat, produk, dan metabolisme lain harus dapat berdiffusi secara
bebas dengan media penjerat.
Natrium alginat merupakan bahan yang digunakan sebagai
penjerat sel, spesifikasi sebagai berikut :
·
Alginat
merupakan koloid ganggang (fikokoloid) yang dapat diekstrak dari ganggang
coklat (phasophyceae), terutama anggota laminariates, berbentuk
asam alginat atau natrium alginat.
·
Asam
alginat adalah suatu getah selaput membran (membrane mucilage).
·
Garam
alginat dapat larut dalam air, seperti natrium alginat, potassium alginat, dan
ammonium alginat, sedikit larut dalam air, sedang kalsium alginat tidak larut
dalam air.
·
Umumnya
alginat berbentuk serbuk putih kekuningan dan kadang-kadang dalam bentuk pasta
yang merupakan senyawa organik kompleks dengan selulosa atau polisakarida.
Senyawa alginat dapat dimurnikan sebgai garam natrium alginat dengan alginat
atau garam alginat yang lain.
Karakteristik natrium alginat :
·
Berbentuk
serbuk berwarna putih atau kekuningan, tidak berbau, dan tidan berasa. Secara
umum susut pengeringan tidak lebih dari 22 %.
·
Larut
lambat dalam air membentuk larutan koloid yang kental, berwarna putih pucat
sampai coklat kekuningan. Tidak larut dalam alkohol, kloroform dan eter,serta
larutan air yang mengandung lebih besar dari 30 % alkohol. Variasi mutu natrium
algianat ditentukan oleh variasi viscositas, antara 20-400 cp dari larutan 1%
pada suhu 20o C.
·
Larutan
alginat stabil pada pH 4 sampai 10.
·
Natrium
alginat harus disimpan dalam wadah yang terlindung dari cahaya, bentuk larutan
tidak boleh disimpan pada wadah logam.
·
Alginat
sebagai hydrophylic polysakarida menyerap uap air dari udara.
2.2
Reaktor
Kolom
Beberapa
konfigurasi reaktor dapat digunakan untuk system sel terimmobilisasi. Matriks
pendukung sel terimmobilisasi umumnya bersifat rapuh, karena itu dipilih
bioreaktor yang memiliki gesekan hidronamik yang rendah seperti packed-column,
fluidized-bed, atau airlift reactor. Reaktor yang menggunakan produk mekanik
dapat digunakan untuk matriks pendukung yang kuat dan liat. Reaktor tersebut
dioperasikan dengan cara mengalirkan larutan nutrient melewati sel immobilisasi.
2.2.1 Reaktor dengan Pengadukan
Reaktor dengan pengadukan dapat
dilakukan dengan system batch maupun
system continue.
Gambar 2.1 Reaktor Sistem Batch dan Continue
2.2.2 Fluidized Bed
Dalam
sistem reaktor ini, enzim/sel immobil mengalir dari bawah ke atas dengan
kecepatan aliran yang cukup tinggi untuk partikel dapat bergerak bebas. Sistem
ini bersifat semi kontinyu sebab substrat dapat dikembalikan lagi ke dalam
reaktor beberapa kali untuk mendapatkan produk yang diinginkan
Gambar
2.2 Fluidized Bed Reactor
2.2.3
Reaktor Kolom
Kolom
”Plug-Flow” merupakan reaktor yang digunakan untuk substrat yang viskositasnya
rendah dan kelarutannya tinggi untuk mencegah penyumbatan.
2.3
Asam
Asetat
Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa
kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam
cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini
seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau
CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki
titik beku 16.7°C.
Asam
asetat merupakan salah satu asam
karboksilat paling sederhana,
setelah asam format.
Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah,
artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-.
Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang penting. Asam asetat digunakan
dalam produksi polimer seperti polietilena tereftalat, selulosa
asetat, dan polivinil
asetat, maupun berbagai macam serat dan kain. Dalam industri
makanan, asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman. Di
rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak
air. Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5 juta ton per tahun. 1.5 juta ton per tahun diperoleh
dari hasil daur
ulang, sisanya diperoleh dari industri petrokimia maupun dari sumber hayati.
Asam asetat
diproduksi baik secara sintetis maupun alami melalui proses fermentasi. Sekarang hanya 10% dari produksi asam asetat dihasilkan melalui jalur
alami, namun kebanyakan hukum yang mengatur bahwa asam asetat yang terdapat
dalam cuka haruslah berasal dari proses biologis. Dari
asam asetat yang diproduksi oleh industri kimia, 75% diantaranya diproduksi
melalui karbonilasi metanol. Sisanya
dihasilkan melalui metode-metode alternatif.
Produksi
total asam asetat dunia diperkirakan 5 Mt/a (juta ton per tahun),
setengahnya diproduksi di Amerika
Serikat. Eropa memproduksi sekitar 1 Mt/a dan
terus menurun, sedangkan Jepang memproduksi sekitar 0.7 Mt/a.
1.51 Mt/a dihasilkan melalui daur ulang,
sehingga total pasar asam asetat mencapai 6.51 Mt/a. Perusahan produser
asam asetat terbesar adalah Celanese dan BP Chemicals. Produsen
lainnya adalah Millenium Chemicals, Sterling Chemicals, Samsung, Eastman, dan Svensk
Etanolkemi.
·
Karbonilasi metanol
Kebanyakan asam asetat
murni dihasilkan melalui karbonilasi. Dalam reaksi ini, metanol dan karbon
monoksida bereaksi
menghasilkan asam asetat
Proses ini melibatkan iodometana sebagai zat antara,
dimana reaksi itu sendiri terjadi dalam tiga tahap dengan katalis logam kompleks pada tahap kedua.
(3) CH3COI + H2O → CH3COOH
+ HI
Jika kondisi reaksi diatas
diatur sedemikian rupa, proses tersebut juga dapat menghasilkan anhidrida
asetat sebagai hasil
tambahan. Karbonilasi metanol sejak lama merupakan metode paling menjanjikan
dalam produksi asam asetat karena baik metanol maupun karbon monoksida
merupakan bahan
mentah komoditi. Henry
Dreyfus mengembangkan cikal
bakal pabrik karbonilasi metanol pada perusahaan Celanese di tahun 1925. Namun, kurangnya bahan-bahan praktis
yang dapat diisi bahan-bahan korosif dari reaksi ini pada tekanan yang dibutuhkan yaitu 200 atm
menyebabkan metoda ini ditinggalkan untuk tujuan komersial. Baru pada 1963
pabrik komersial pertama yang menggunakan karbonilasi metanol didirikan oleh
perusahaan kimia Jerman, BASF dengan
katalis kobalt (Co). Pada 1968, ditemukan katalis
kompleks Rhodium, cis−[Rh(CO)2I2]− yang dapat beroperasi dengan optimal
pada tekanan rendah tanpa produk sampingan. Pabrik pertama yang menggunakan
katalis tersebut adalah perusahan kimia AS Monsanto pada 1970, dan metode
karbonilasi metanol berkatalis Rhodium dinamakan proses
Monsanto dan menjadi metode
produksi asam asetat paling dominan. Pada akhir 1990'an, perusahan petrokimia British Petroleum mengkomersialisasi katalis Cativa
([Ir(CO)2I2]−) yang didukung oleh ruthenium.
Proses berbasis iridium ini lebih efisien dan lebih
"hijau" dari metode sebelumnya sehingga menggantikan
proses Monsanto.
Proses produksi Asam
asetat:
·
Oksidasi asetaldehida
Sebelum
komersialisasi proses Monsanto, kebanyakan asam asetat diproduksi melalui oksidasi asetaldehida.
Sekarang oksidasi asetaldehida merupakan metoda produksi asam asetat kedua
terpenting, sekalipun tidak kompetitif bila dibandingkan dengan metode
karbonilasi metanol. Asetaldehida yang digunakan dihasilkan melalui oksidasi butana atau nafta ringan, atau hidrasi dari etilena. Saat butena
atau nafta ringan dipanaskan bersama udara disertai dengan beberapa ion logam, termasuk ion mangan, kobalt dan kromium,
terbentuk peroksidayang
selanjutnya terurai menjadi asam asetat sesuai dengan persamaan
reaksi dibawah ini.
Umumnya
reaksi ini dijalankan pada temperatur dan tekanan sedemikian rupa sehingga tercapai suhu
setinggi mungkin namut butana masih berwujud cair. Kondisi reaksi pada umumnya
sekitar 150 °C and 55 atm. Produk sampingan seperti butanon, etil asetat, asam format dan asam propionat juga mungkin terbentuk. Produk
sampingan ini juga bernilai komersial dan jika diinginkan kondisi reaksi dapat
diubah untuk menghasilkan lebih banyak produk samping, namun pemisahannya dari
asam asetat menjadi kendala karena membutuhkan biaya lebih banyak lagi.
Melalui
kondisi dan katalis yang sama asetal dehida dapat
dioksidasi oleh oksigen udara menghasilkan asam asetat.
Dengan
menggunakan katalis modern, reaksi ini dapat memiliki rasio hasil (yield)
lebih besar dari 95%. Produk samping utamanya adalah etil asetat, asam format dan formaldehida,
semuanya memiliki titik didih yang lebih rendah daripada asam asetat
sehingga dapat dipisahkan dengan mudah melalui distilasi.
Asam asetat digunakan
sebagai pereaksi
kimia untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia.
Sebagian besar (40-45%) dari asam asetat dunia digunakan sebagai bahan untuk
memproduksi monomer vinil
asetat (vinyl acetate monomer, VAM). Selain itu asam
asetat juga digunakan dalam produksi anhidrida
asetat dan juga ester. Penggunaan asam asetat lainnya, termasuk penggunaan
dalam cuka relatif kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar