Kamis, 29 November 2012

sel imobilisasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1     Sel Immobilisasi
Sel atau enzim imobilisasi adalah suatu sel yang secara fisik terlokalisasi/terjerat pada suatu daerah tertentu. Sel/enzim tersebut tetap mempunyai aktivitasnya sebagai biokatalisator/katalis, serta sel/enzim tersebut dapat dipergunakan secara terus menerus dan sangat penting untuk proses berkesinambungan.
Sel terimobilisasi adalah suatu sel yang dilekatkan pada suatu bahan inert dan tidak larut dalam bahan tersebut, misal dalam sodium alginat atau kalsium alginat. Dengan sistem ini, sel dapat lebih tahan terhadap perubahan kondisi seperti pH, juga temperatur. Sistem ini juga membantu sel berada di tempat tertentu selama berlangsungnya reaksi sehingga memudahkan proses pemisahan dan memungkinkan untuk dipakai lagi di reaksi lain (Sumo dkk., 1993).
Immobilisasi sel mikroba dibedakan atas 3 macam yakni:
1.      Sel mati: untuk reaksi konversi sederhana (1 tahap)
2.      Sel hidup: untuk reaksi konversi yang melibatkan biokatalis heterogen (multi enzim)/memerlukan ATP atau biokoenzim seperti NADP atau koenzim A.
3.      Sel dalam fase pertumbuhan: keadaan dimana terdapat aktivitas enzim untuk pertumbuhan.
Imobilisasi dapat dilakukan terhadap sel maupun terhadap enzim. Imobilisasi enzim dapat dianggap sebagai metode yang merubah enzim dari bentuk larut dalam air “bergerak” menjadi keadaan “tak begerak” yang tidak larut. Imobilisasi mencegah difusi enzim ke dalam campuran reaksi dan mempermudah memperoleh kembali enzim tersebut dari aliran produk dengan teknik pemisahan padat/cair yang sederhana. Imobilisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui pengikatan kimiawi molekul enzim pada bahan pendukung, pengikatan silang intermolekuler sesama enzim, atau dengan cara menjebak enzim di dalam gel atau membran polimer (Palmer, 1991).
Imobilisasi sel berkembang setelah imobilisasi enzim. Dalam teknologi imobilisasi enzim terdapat hambatan pada regenerasi koenzim dan keterbatasan metode yang dapat diterapkan untuk menyusun molekul enzim dalam rangkaian tertentu, sehingga dapat melakukan tahapan reaksi katalitis enzim yang berkesinambungan. Untuk mencegah hambatan tersebut dilakukan penelitian-penelitian, sehingga terjadi pengembangan pada imobilisasi sel, yang dapat digunakan sebagai biokatalis. Hal ini memungkinkan untuk melakukan imobilisasi seluruh sel dan menjaga sel tetap hidup (viabel). Dalam praktiknya, metode yang digunakan adalah menjebak sel dalam gel dengan adsorpsi. Selain itu, pengontrolan perlu dilakukan untuk mencegah inaktivasi dari aktivitas metabolisme yang penting, sehingga pemisahan biokatalis dari produk lebih mudah dan membuat biokatalis lebih stabil (Sumo dkk., 1993).
Dewasa ini, teknologi immobilisasi memegang peranan penting dalam perkembangan proses biokimia dalam suatu boreaktor. Sel yang mengalami immobilisasi (immoblized mivrobial cells) telah banyak diterapkan dalam fermentasi misalnya produksi alkohol, asam amino, antibiotik atau pada degradasi polutan limbah cair.

            2.1.1    Kelebihan Sel Immobilisasi
            Kelebihan penggunaan sel immobilisasi dibandingkan dengan sel bebas antara lain sebagai berikut:
1.      Immobilasi menyediakan konsentrasi sel yang tinggi.
2.      Immobilisasi memungkinkan penggunaan sel kembali dan mengurangi biaya recovery sel dan recycle sel.
3.      Immobilisasi mengurangi masalah wash out sel pada laju alir yang tinggi.
4.      Kombinasi konsentrasi sel yang tinggi dan laju alir yang tinggi (tanpa batasan wash out) menghasilkan produktivitas volumetric yang tinggi.
5.      Immobilisasi menyediakan kondisi micro environmental yang menguntungkan seperti kontak antar sel, gradient nutrient-produk, gradient pH untuk sel sehingga menghasilkan kinerja biokatalis yang lebih baik (kecepatan pembentukan dan yield produk yang lebih tinggi).
6.      Immobilisasi menyebabkan kestabilan genetik.
7.      Immobilisasi menyediakan perlindungan terhadap kerusakan sel.

2.1.2    Kekurangan Sel Immobilisasi
Kekurangan penggunaan sel terimobilisasi adalah hambatan pada proses difusi baik substrat maupun produk yang terbentuk. Untuk sel yang hidup, pertumbuhan dan evaluasi gas sering merusak matriks pendukung sel terimmobilisasi.
           

            2.1.3    Jenis-Jenis Immobilisasi sel
            Secara umum, ada dua jenis sel immobilisasi yakni:
1.      Immobilisasi Aktif
Immobilisasi ini dilakukan dengan dua metoda yaitu metoda penjeratan dan metoda pengikatan. Metoda penjeratan dilakukan secara fisik dalam matriks pendukung. Matriks pendukung yang bisa digunakan yaitu polimer porous (agar, alginate, carragenan, polyacrylamide, chitosan, gelatin, collagen), porous metal screen, polyurethane, silicagel, polystyrene, dan selulosa triacetate. Polymeric beads harus cukup porous untuk keluar masuknya substrat dan produk.  Polymeric beads biasanya dibentuk dengan menggunakan sel hidup di dalamnya.

2.      Immobilisasi Pasif
Berbentuk biological films yang berbentuk lapisan-lapisan koloni sel yang tumbuh dan melekat pada permukaan pendukung yang padat. Material pendukung dapat bersifat inert atau aktif secara biologis. Biological films digunakan pada pengolahan limbah atau fermentasi mikroba dengan jamur.

2.1.4        Metode Immobilisasi
Beberapa ahli menggolongkan metode imobilisasi dengan tiga kelompok, yaitu: metode carrier binding, metode cross linking, dan metode entrapping (Sa’id, 1987). Pada metode carrier binding, enzim diikatkan pada suatu matriks yang bersifat tidak larut adalam air. Sebagai matriks dapat digunakan bahan organik maupun anorganik. Bila menggunakan metode ini, hal yang perlu diperhatikan adalah pemilihan matriks dan pengikatan enzim pada matriks tersebut. Teknik pengikatan enzim pada matriks dapat dilakukan berdasarkan adsorpsi fisik, gaya elektrostatik atau ikatan kovalen (Chibata, 1978).
Metode cross linking didasarkan pada pembentukan ikatan intermolekuler antara molekul-molekul enzim. Gugus fungsional dalam molekul enzim yang biasa digunakan untuk pembentukan ikatan intermolekmuler adalah gugus amino pada asam amino terminal, gugus amino dari lisin, gugus fenolik dari tirosin, gugus sulhidril dari sistein dan gugus imidazole dari histidin.
Pada metode entrapping, imobilisasi, enzim/sel didasarkan pada penempatan enzim di dalam kisi dari suatu polimer atau di dalam membran yang bersifat semi permiabel. Bila enzim ditempatkan dalam kisi, maka metode yang digolongkan adalah jenis kisi, sedang bila ditempatkan dalam membran yang bersifat semipermiabel, maka metodenya digolongkan ke dalam jenis mikrokapsul (Chibata, 1978). Selain itu metode imobilisasi dapat digolongkan sebagai berikut :
Ø  Adsorpsi
Ø  Penjeratan dalam matriks polimer
Ø  Penjeratan dalam membran
Teknik imobilisasi yang paling baik adalah yang memenuhi kriteria utama tidak terjadi perubahan konformasi enzim dan tidak mengganggu gugus fungsi di pusat aktif enzim sehingga enzim tetap dapat berfungsi. Metode penjebakan enzim lebih banyak digunakan karena enzim ada dalam keadaan bebas dan tidak terikat pada bahan pendukung sehinga secara relatif fungsi katalitik dan struktur alami molekul enzim tidak mengalami gangguan goncangan (Wirahadikusumah, 1988).
           
2.1.5        Penjerat Atau Pembawa Immobilisasi Sel
Karakteristik yang harus dimiliki oleh penjerat/pembawa immobilisai sel, antara lain :
a. Mudah digunakan serta ukuran dan porositas media penjerat dapat dikontrol, terutama pada skala industri.
b. Media penjerat berbentuk matrik stabil pada kondisi fermentasi (temperature dan pH optimum).
c. Harga murah dan mudah didapat.
d. Mempunyai sifat mekanik yang stabil, sehingga dapat tahan dalam waktu yanglama dalam reaktor yang digunakan.
e. Penjerat harus inert terhadap mikrorganisme yang akan dijerat.
f. Substrat, produk, dan metabolisme lain harus dapat berdiffusi secara bebas dengan media penjerat.
Natrium alginat merupakan bahan yang digunakan sebagai penjerat sel, spesifikasi sebagai berikut :
·         Alginat merupakan koloid ganggang (fikokoloid) yang dapat diekstrak dari ganggang coklat (phasophyceae), terutama anggota laminariates, berbentuk asam alginat atau natrium alginat.
·         Asam alginat adalah suatu getah selaput membran (membrane mucilage).
·         Garam alginat dapat larut dalam air, seperti natrium alginat, potassium alginat, dan ammonium alginat, sedikit larut dalam air, sedang kalsium alginat tidak larut dalam air.
·         Umumnya alginat berbentuk serbuk putih kekuningan dan kadang-kadang dalam bentuk pasta yang merupakan senyawa organik kompleks dengan selulosa atau polisakarida. Senyawa alginat dapat dimurnikan sebgai garam natrium alginat dengan alginat atau garam alginat yang lain.

Karakteristik natrium alginat :
·         Berbentuk serbuk berwarna putih atau kekuningan, tidak berbau, dan tidan berasa. Secara umum susut pengeringan tidak lebih dari 22 %.
·         Larut lambat dalam air membentuk larutan koloid yang kental, berwarna putih pucat sampai coklat kekuningan. Tidak larut dalam alkohol, kloroform dan eter,serta larutan air yang mengandung lebih besar dari 30 % alkohol. Variasi mutu natrium algianat ditentukan oleh variasi viscositas, antara 20-400 cp dari larutan 1% pada suhu 20o C.
·         Larutan alginat stabil pada pH 4 sampai 10.
·         Natrium alginat harus disimpan dalam wadah yang terlindung dari cahaya, bentuk larutan tidak boleh disimpan pada wadah logam.
·         Alginat sebagai hydrophylic polysakarida menyerap uap air dari udara.


2.2        Reaktor Kolom
Beberapa konfigurasi reaktor dapat digunakan untuk system sel terimmobilisasi. Matriks pendukung sel terimmobilisasi umumnya bersifat rapuh, karena itu dipilih bioreaktor yang memiliki gesekan hidronamik yang rendah seperti packed-column, fluidized-bed, atau airlift reactor. Reaktor yang menggunakan produk mekanik dapat digunakan untuk matriks pendukung yang kuat dan liat. Reaktor tersebut dioperasikan dengan cara mengalirkan larutan nutrient melewati sel immobilisasi.

   2.2.1 Reaktor dengan Pengadukan
            Reaktor dengan pengadukan dapat dilakukan dengan system batch maupun  system continue.

Description: C:\Documents and Settings\user\My Documents\7-1eeb6aff0e.jpg
      Gambar 2.1 Reaktor Sistem Batch dan Continue

2.2.2 Fluidized Bed
Dalam sistem reaktor ini, enzim/sel immobil mengalir dari bawah ke atas dengan kecepatan aliran yang cukup tinggi untuk partikel dapat bergerak bebas. Sistem ini bersifat semi kontinyu sebab substrat dapat dikembalikan lagi ke dalam reaktor beberapa kali untuk mendapatkan produk yang diinginkan

Description: C:\Documents and Settings\user\My Documents\a4f1.gif




Gambar 2.2 Fluidized Bed Reactor

2.2.3 Reaktor Kolom
Kolom ”Plug-Flow” merupakan reaktor yang digunakan untuk substrat yang viskositasnya rendah dan kelarutannya tinggi untuk mencegah penyumbatan.

2.3        Asam Asetat
Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku 16.7°C.
Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-. Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang penting. Asam asetat digunakan dalam produksi polimer seperti polietilena tereftalat, selulosa asetat, dan polivinil asetat, maupun berbagai macam serat dan kain. Dalam industri makanan, asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman. Di rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air. Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5 juta ton per tahun. 1.5 juta ton per tahun diperoleh dari hasil daur ulang, sisanya diperoleh dari industri petrokimia maupun dari sumber hayati.
            Asam asetat diproduksi baik secara sintetis maupun alami melalui proses fermentasi. Sekarang hanya 10% dari produksi asam asetat dihasilkan melalui jalur alami, namun kebanyakan hukum yang mengatur bahwa asam asetat yang terdapat dalam cuka haruslah berasal dari proses biologis. Dari asam asetat yang diproduksi oleh industri kimia, 75% diantaranya diproduksi melalui karbonilasi metanol. Sisanya dihasilkan melalui metode-metode alternatif.
Produksi total asam asetat dunia diperkirakan 5 Mt/a (juta ton per tahun), setengahnya diproduksi di Amerika Serikat. Eropa memproduksi sekitar 1 Mt/a dan terus menurun, sedangkan Jepang memproduksi sekitar 0.7 Mt/a. 1.51 Mt/a dihasilkan melalui daur ulang, sehingga total pasar asam asetat mencapai 6.51 Mt/a. Perusahan produser asam asetat terbesar adalah Celanese dan BP Chemicals. Produsen lainnya adalah Millenium Chemicals, Sterling Chemicals, Samsung, Eastman, dan Svensk Etanolkemi.

·         Karbonilasi metanol

Kebanyakan asam asetat murni dihasilkan melalui karbonilasi. Dalam reaksi ini, metanol dan karbon monoksida bereaksi menghasilkan asam asetat
CH3OH + CO → CH3COOH
Proses ini melibatkan iodometana sebagai zat antara, dimana reaksi itu sendiri terjadi dalam tiga tahap dengan katalis logam kompleks pada tahap kedua.
(1) CH3OH + HI  CH3I + H2O
(2) CH3I + CO → CH3COI
(3) CH3COI + H2O → CH3COOH + HI
Jika kondisi reaksi diatas diatur sedemikian rupa, proses tersebut juga dapat menghasilkan anhidrida asetat sebagai hasil tambahan. Karbonilasi metanol sejak lama merupakan metode paling menjanjikan dalam produksi asam asetat karena baik metanol maupun karbon monoksida merupakan bahan mentah komoditi. Henry Dreyfus mengembangkan cikal bakal pabrik karbonilasi metanol pada perusahaan Celanese di tahun 1925. Namun, kurangnya bahan-bahan praktis yang dapat diisi bahan-bahan korosif dari reaksi ini pada tekanan yang dibutuhkan yaitu 200 atm menyebabkan metoda ini ditinggalkan untuk tujuan komersial. Baru pada 1963 pabrik komersial pertama yang menggunakan karbonilasi metanol didirikan oleh perusahaan kimia Jerman, BASF dengan katalis kobalt (Co). Pada 1968, ditemukan katalis kompleks Rhodium, cis−[Rh(CO)2I2] yang dapat beroperasi dengan optimal pada tekanan rendah tanpa produk sampingan. Pabrik pertama yang menggunakan katalis tersebut adalah perusahan kimia AS Monsanto pada 1970, dan metode karbonilasi metanol berkatalis Rhodium dinamakan proses Monsanto dan menjadi metode produksi asam asetat paling dominan. Pada akhir 1990'an, perusahan petrokimia British Petroleum mengkomersialisasi katalis Cativa ([Ir(CO)2I2]) yang didukung oleh ruthenium. Proses berbasis iridium ini lebih efisien dan lebih "hijau" dari metode sebelumnya sehingga menggantikan proses Monsanto.

Proses produksi Asam asetat:

·         Oksidasi asetaldehida

Sebelum komersialisasi proses Monsanto, kebanyakan asam asetat diproduksi melalui oksidasi asetaldehida. Sekarang oksidasi asetaldehida merupakan metoda produksi asam asetat kedua terpenting, sekalipun tidak kompetitif bila dibandingkan dengan metode karbonilasi metanol. Asetaldehida yang digunakan dihasilkan melalui oksidasi butana atau nafta ringan, atau hidrasi dari etilena. Saat butena atau nafta ringan dipanaskan bersama udara disertai dengan beberapa ion logam, termasuk ion mangan, kobalt dan kromium, terbentuk peroksidayang selanjutnya terurai menjadi asam asetat sesuai dengan persamaan reaksi dibawah ini.
2 C4H10 + 5 O2 → 4 CH3COOH + 2 H2O
Umumnya reaksi ini dijalankan pada temperatur dan tekanan sedemikian rupa sehingga tercapai suhu setinggi mungkin namut butana masih berwujud cair. Kondisi reaksi pada umumnya sekitar 150 °C and 55 atm. Produk sampingan seperti butanon, etil asetat, asam format dan asam propionat juga mungkin terbentuk. Produk sampingan ini juga bernilai komersial dan jika diinginkan kondisi reaksi dapat diubah untuk menghasilkan lebih banyak produk samping, namun pemisahannya dari asam asetat menjadi kendala karena membutuhkan biaya lebih banyak lagi.
Melalui kondisi dan katalis yang sama asetal dehida dapat dioksidasi oleh oksigen udara menghasilkan asam asetat.
2 CH3CHO + O2 → 2 CH3COOH
Dengan menggunakan katalis modern, reaksi ini dapat memiliki rasio hasil (yield) lebih besar dari 95%. Produk samping utamanya adalah etil asetat, asam format dan formaldehida, semuanya memiliki titik didih yang lebih rendah daripada asam asetat sehingga dapat dipisahkan dengan mudah melalui distilasi.
            Asam asetat digunakan sebagai pereaksi kimia untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia. Sebagian besar (40-45%) dari asam asetat dunia digunakan sebagai bahan untuk memproduksi monomer vinil asetat (vinyl acetate monomer, VAM). Selain itu asam asetat juga digunakan dalam produksi anhidrida asetat dan juga ester. Penggunaan asam asetat lainnya, termasuk penggunaan dalam cuka relatif kecil.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar