BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Deposisi Asam
Hujan asam dilaporkan pertama kali di Manchester,
Inggris,
yang menjadi kota penting dalam Revolusi
Industri. Pada tahun 1852, Robert Angus Smith menemukan hubungan antara hujan asam
dengan polusi udara. Istilah hujan asam tersebut mulai digunakannya pada tahun
1872. Ia mengamati bahwa hujan asam dapat mengarah pada kehancuran alam.
Walaupun hujan asam ditemukan di tahun 1852, baru pada tahun 1970-an para ilmuwan mulai
mengadakan banyak melakukan penelitian mengenai fenomena ini. Kesadaran
masyarakat akan hujan asam di Amerika Serikat meningkat di tahun 1990-an
setelah di New York Times memuat laporan dari
Hubbard Brook Experimental Forest di New Hampshire tentang banyaknya kerusakan
lingkungan yang diakibatkan oleh hujan asam.
Hujan asam diartikan sebagai segala macam hujan
dengan pH
di bawah 5,6. Hujan secara alami bersifat asam (pH sedikit di bawah 6) karena karbondioksida
(CO2) di udara
yang larut dengan air hujan memiliki bentuk sebagai asam
lemah.
Hujan secara alami
bersifat asam karena Karbon Dioksida (CO2) di udara yang larut dengan air hujan
memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat
bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh
tumbuhan dan binatang. Hujan pada dasarnya memiliki tingkat keasaman berkisar
pH 5, apabila hujan terkontaminasi dengan karbon dioksida dan gas klorine yang
bereaksi serta bercampur di atmosphere sehingga tingkat keasaman lebih rendah
dari pH 5, disebut dengan hujan asam. Tetapi istilah hujan asam tidaklah tepat,
yang benar adalah deposisi asam.
Deposisi
asam diartikan sebagai
segala macam hujan dengan pH di bawah 5,6. Hujan secara alami bersifat asam (pH sedikit di bawah 6)
karena karbondioksida (CO2)
di udara yang larut dengan air hujan
memiliki bentuk sebagai asam lemah. Secara alami hujan asam dapat terjadi akibat semburan
dari gunung berapi dan dari proses
biologis di tanah, rawa, dan laut. Akan tetapi, mayoritas hujan asam disebabkan
oleh aktivitas manusia seperti industri, pembangkit tenaga listrik, kendaraan bermotor dan pabrik
pengolahan pertanian (terutama amonia). Gas-gas yang dihasilkan oleh
proses ini dapat terbawa angin hingga ratusan kilometer di atmosfer sebelum berubah menjadi
asam dan terdeposit ke tanah.
Deposisi asam ada dua jenis,
yaitu deposisi kering dan deposisi basah. Deposisi kering ialah peristiwa terkenanya
benda dan mahluk hidup oleh asam yang ada dalam udara. Ini dapat terjadi pada
daerah perkotaan karena pencemaran udara akibat kendaraan maupun asap pabrik.
Selain itu deposisi kering juga dapat terjadi di daerah perbukitan yang terkena
angin yang membawa udara yang mengandung asam. Biasanya deposisi jenis ini
terjadi dekat dari sumber pencemaran.
Deposisi basah ialah turunnya
asam dalam bentuk hujan. Hal ini terjadi apabila asap di dalam udara larut di
dalam butir-butir air di awan. Jika turun hujan dari awan tadi, maka air hujan
yang turun bersifat asam. Deposisi asam dapat pula terjadi karena hujan turun
melalui udara yang mengandung asam sehingga asam itu terlarut ke dalam air hujan
dan turun ke bumi. Asam itu tercuci atau wash out. Deposisi jenis ini dapat
terjadi sangat jauh dari sumber pencemaran.
2.2 Proses
Terjadinya Deposisi Asam di Atmosfer
Deposisi
asam terjadi apabila asam sulfat, asam nitrat, atau asam klorida yang ada di
atmosfer baik sebagai gas maupun cair terdeposisikan ke tanah, sungai, danau,
hutan, lahan pertanian, atau bangunan melalui tetes hujan, kabut, embun, salju,
atau butiran-butiran cairan (aerosol), ataupun jatuh bersama angin. Asam-asam
tersebut berasal dari prekursor hujan asam dari kegiatan manusia (anthropogenic)
seperti emisi pembakaran batubara dan minyak bumi, serta emisi dari kendaraan
bermotor. Kegiatan alam seperti letusan gunung berapi juga dapat menjadi salah
satu penyebab deposisi asam. Reaksi pembentukan asam di atmosfer dari prekursor
hujan asamnya melalui reaksi katalitis dan photokimia. Reaksi-reaksi yang
terjadi cukup banyak dan kompleks, namun dapat dituliskan secara sederhana
seperti dibawah ini.
a. Pembentukan Asam Sulfat (H2SO4)
Gas
SO2, bersama dengan radikal hidroksil dan oksigen melalui reaksi
photokatalitik di atmosfer, akan membentuk asamnya.
SO2 + OH
HSO3
HSO3 + O2
HO2 + SO3
SO3 + H2O
H2SO4
HSO3 + O2
SO3 + H2O
Selanjutnya
apabila diudara terdapat Nitrogen monoksida (NO) maka radikan hidroperoksil (HO2)
yang terjadi pada salah satu reaksi diatas akan bereaksi kembali seperti:
NO
+ HO2
NO2
+ OH
Pada reaksi ini radikal hidroksil
akan terbentuk kembali, jadi selama ada NO diudara, maka reaksi radikal
hidroksil akan terbantuk kembali, jadi semakin banyak SO2, maka akan
semakin banyak pula asam sulfat yang terbentuk.
b. Pembentukan Asam Nitrat (HNO3)
Pada
siang hari, terjadi reaksi photokatalitik antara gas Nitrogen dioksida denan
radikal hidroksil.
NO2
+ OH
HNO3
Sedangkan pada malam hari terjadi
reaksi antara Nitrogen dioksida dengan ozon
NO2 + O3
NO3 + O2
NO2 + NO3
N2O5
N2O5 + H2O
HNO3
NO2 + NO3
N2O5 + H2O
Didaerah peternakan dan pertanian
akan condong menghasilkan asam pada tanahnya mengingat kotoran hewan banyak
mengandung NH3 dan tanah pertanian mengandung urea. Amoniak di tanah
semula akan menetralkan asam, namun garam-garam ammonia yang terbentuk akan
teroksidasi menjadi asam nitrat dan asam sulfat. Disisi lain amoniak yang
menguap ke udara dengan uap air akan membentuk ammonia hingga memungkinkan
penetralan asam yang ada di udara.
c. Pembentukan Asam Chlorida (HCl)
Asam
klorida biasanya terbentuk di lapisan stratosfer, dimana reaksinya melibatkan
Chloroflorocarbon (CFC) dan radikal oksigen O*
CFC + hv(UV)
Cl* + produk
CFC + O*
ClO + produk
O* + ClO
Cl* + O2
Cl + CH4
HCl + CH3
CFC + O*
O* + ClO
Cl + CH4
Reaksi diatas merupaka bagian
dari rangkaian reaksi yang menyebabkan deplesi lapisan ozon di stratosfer.
Perbandingan ketiga asam tersebut dalam hujan asam biasanya berkisar antara 62
persen oleh Asam Sulfat, 32 persen Asam Nitrat dan 6 persen Asam Chlorida.
2.3 Penyebab Terjadinya Deposisi Asam
Polutan
yang berperan akan terjadinya hujan asam adalah zat SO2 dan NOx di udara.
Sekira 50% SO2 yang ada didalam atmosfer adalah alamiah, antara lain dari
letusan gunung berapi dan kebakaran hutan yang alamiah. Sedangkan yang 50% lagi
adalah antropogenik, yaitu berasal dari aktivitas manusia, terutama dari pembakaran
bahan-bahan fosil (BBF) dan peleburan logam. Minyak bumi mengadung belerang
antara 0,1% sampai 3% dan batubara 0,4% sampai 5%. Waktu BBF di bakar, belerang
tersebut beroksidasi menjadi belerang dioksida (SO2) dan lepas di
udara. Oksida belerang itu selanjutnya berubah menjadi asam sulfat. Namun, di daerah yang banyak
mempunyai industri dan lalu lintas berat, SO2 yang antrofogenik lebih
tinggi.
Kadar SO2 tertinggi terdapat pada pusat industri di Eropa,
Amerika Utara dan Asia Timur. Di Eropa Barat, 90% SO2 adalah antrofogenik. Di
Inggris, 2/3 SO2 berasal dari pembangkit listrik batu bara, di Jerman 50% dan
di Kanada 63%.
Emisi terbesar SO2 di dunia adalah pabrik pelebur tembaga dan
nikel di Sundbury, Ontario, Kanada yang mengemisikan SO2 632.000 ton/tahun.
Adapun pembentukan asam sulfat dalam fase gas oleh emisi SO2 di udara terjadi
dengan bantuan radikal hidroksil (OH), sehingga terbentuklah kembali radikal
OH. Oleh sebab itu selama masih terdapat NO di atmosfer, dapatlah terbentuk asam
sulfat tanpa mengurangi kadar OH. Dengan demikian semakin banyak SO2 makin
banyak pula asam sulfat yang terbentuk.
Kemudian, seperti halnya SO2, 50% NOx dalam atmosfer adalah
alamiah dan 50% antrofogenik. Pembakaran BBF juga merupakan sumber terbesar NOx
sehingga di negara dengan industri maju NOx yang antrofogenik lebih besar dari
pada yang alamiah. Emisi NOx dalam tahun 1980 diperkirakan sebesar 9,2 juta ton
di Eropa, 19,3 juta ton di Amerika Serikat, dan 1,8 juta ton di Kanada.
Instalasi pembangkit listrik dan kendaraan bermotor merupakan sumber utama NOx.
NOx berasal juga dari aktivitas jasad renik tanah, di mana
untuk kehidupannya menggunakan senyawa organik yang mengandung N. Oksida N itu
merupakan hasil sampingan dari aktivitas jasad renik tersebut.
Pupuk N dalam tanah yang tidak terserap tumbuhan juga
mengalami perombakan kimia fisik dan biologi yang menghasilkan oksida N.
Semakin banyak digunakan pupuk N, semakin tinggi pula produksi oksida tersebut.
Sebagian dari oksida N tersebut di udara berubah menjadi asam nitrat.
Sumber asam nitrat yang lain ialah amonia (NH3). NH3
sebenarnya bersifat basa, tetapi keberadaannya di udara menetralisasi asam
dengan pembentukan garam (NH4)2 dan NH4NO3 kemudian dioksidasi menjadi asam
nitrat. Sumber utama NH3 ialah pertanian dan peternakan, yaitu pupuk dan
kotoran ternak.
Hujan asam juga dapat terbentuk
melalui proses kimia dimana gas sulphur dioxide atau sulphur dan nitrogen
mengendap pada logam serta mongering bersama debu atau partikel lainnya.
2.4 Akibat Terjadinya Deposisi Asam
Terjadinya hujan asam harus
diwaspadai karena dampak yang ditimbulkan bersifat global dan dapat menggangu
keseimbangan ekosistem. Hujan asam memiliki dampak tidak hanya pada lingkungan
biotik, namun juga pada lingkungan abiotik, antara lain :
1.
Danau
Kelebihan zat asam pada danau akan mengakibatkan sedikitnya species yang bertahan. Jenis Plankton dan invertebrate merupakan mahkluk yang paling pertama mati akibat pengaruh pengasaman. Apa yang terjadi jika didanau memiliki pH dibawah 5, lebih dari 75 % dari spesies ikan akan hilang (Anonim, 2002). Ini disebabkan oleh pengaruh rantai makanan, yang secara signifikan berdampak pada keberlangsungan suatu ekosistem. Tidak semua danau yang terkena hujan asam akan menjadi pengasaman, dimana telah ditemukan jenis batuan dan tanah yang dapat membantu menetralkan keasaman.
Kelebihan zat asam pada danau akan mengakibatkan sedikitnya species yang bertahan. Jenis Plankton dan invertebrate merupakan mahkluk yang paling pertama mati akibat pengaruh pengasaman. Apa yang terjadi jika didanau memiliki pH dibawah 5, lebih dari 75 % dari spesies ikan akan hilang (Anonim, 2002). Ini disebabkan oleh pengaruh rantai makanan, yang secara signifikan berdampak pada keberlangsungan suatu ekosistem. Tidak semua danau yang terkena hujan asam akan menjadi pengasaman, dimana telah ditemukan jenis batuan dan tanah yang dapat membantu menetralkan keasaman.
2.
Tumbuhan dan Hewan
Hujan asam yang larut bersama nutrisi didalam tanah akan
menyapu kandungan tersebut sebelum pohon-pohon dapat menggunakannya untuk
tumbuh. Serta akan melepaskan zat kimia beracun seperti aluminium, yang akan
bercampur didalam nutrisi. Sehingga apabila nutrisi ini dimakan oleh tumbuhan
akan menghambat pertumbuhan dan mempercepat daun berguguran, selebihnya
pohon-pohon akan terserang penyakit, kekeringan dan mati. Seperti halnya danau,
Hutan juga mempunyai kemampuan untuk menetralisir hujan asam dengan jenis
batuan dan tanah yang dapat mengurangi tingkat keasaman.
Pencemaran udara telah menghambat fotosintesis dan
immobilisasi hasil fotosintesis dengan pembentukan metabolit sekunder yang
potensial beracun. Sebagai akibatnya akar kekurangan energi, karena hasil
fotosintesis tertahan di tajuk. Sebaliknya tahuk mengakumulasikan zat yang
potensial beracun tersebut. Dengan demikian pertumbuhan akar dan mikoriza
terhambat sedangkan daunpun menjadi rontok. Pohon menjadi lemah dan mudah
terserang penyakit dan hama.
Penurunan pH tanah akibat deposisi asam juga menyebabkan terlepasnya
aluminium dari tanah dan menimbulkan keracunan. Akar yang halus akan mengalami
nekrosis sehingga penyerapan hara dan iar terhambat. Hal ini menyebabkan pohon
kekurangan air dan hara serta akhirnya mati. Hanya tumbuhan tertentu yang dapat
bertahan hidup pada daerah tersebut, hal ini akan berakibat pada hilangnya
beberapa spesies. Ini juga berarti bahwa keragaman hayati tamanan juga semakin
menurun.
Kadar SO2 yang tinggi di hutan menyebabkan noda putih atau
coklat pada permukaan daun, jika hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama
akan menyebabkan kematian tumbuhan tersebut. Menurut Soemarmoto (1992), dari
analisis daun yang terkena deposisi asam menunjukkan kadar magnesium yang
rendah. Sedangkan magnesium merupakan salah satu nutrisi assensial bagi
tanaman. Kekurangan magnesium disebabkan oleh pencucian magnesium dari tanah
karena pH yang rendah dan kerusakan daun meyebabkan pencucian magnesium di
daun.
Sebagaimana tumbuhan, hewan juga memiliki ambang toleransi
terhadap hujan asam. Spesies hewan tanah yang mikroskopis akan langsung mati
saat pH tanah meningkat karena sifat hewan mikroskopis adalah sangat spesifik
dan rentan terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim. Spesies hewan yang lain
juga akan terancam karena jumlah produsen (tumbuhan) semakin sedikit. Berbagai
penyakit juga akan terjadi pada hewan karena kulitnya terkena air dengan
keasaman tinggi. Hal ini jelas akan menyebabkan kepunahan spesies.
3.
Kesehatan Manusia
Dampak deposisi asam terhadap kesehatan telah banyak
diteliti, namun belum ada yang nyata berhubungan langsung dengan pencemaran
udara khususnya oleh senyawa Nox dan SO2. Kesulitan yang dihadapi dkarenakan
banyaknya faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang, termasuk faktor
kepekaan seseorang terhadap pencemaran yang terjadi. Misalnya balita, orang
berusia lanjut, orang dengan status gizi buruk relatif lebih rentan terhadap
pencemaran udara dibandingkan dengan orang yang sehat.
Berdasarkan hasil penelitian, sulphur dioxide yang
dihasilkan oleh hujan asam juga dapat bereaksi secara kimia didalam udara,
dengan terbentuknya partikel halus suphate, yang mana partikel halus ini akan
mengikat dalam paru-paru yang akan menyebabkan penyakit pernapasan. Selain itu
juga dapat mempertinggi resiko terkena kanker kulit karena senyawa sulfat dan
nitrat mengalami kontak langsung dengan kulit.
4.
Korosi
Hujan asam juga dapat mempercepat proses pengkaratan dari beberapa material seperti batu kapur, pasirbesi, marmer, batu pada diding beton serta logam. Ancaman serius juga dapat terjadi pada bagunan tua serta monument termasuk candi dan patung. Hujan asam dapat merusak batuan sebab akan melarutkan kalsium karbonat, meninggalkan kristal pada batuan yang telah menguap. Seperti halnya sifat kristal semakin banyak akan merusak batuan.
Hujan asam juga dapat mempercepat proses pengkaratan dari beberapa material seperti batu kapur, pasirbesi, marmer, batu pada diding beton serta logam. Ancaman serius juga dapat terjadi pada bagunan tua serta monument termasuk candi dan patung. Hujan asam dapat merusak batuan sebab akan melarutkan kalsium karbonat, meninggalkan kristal pada batuan yang telah menguap. Seperti halnya sifat kristal semakin banyak akan merusak batuan.
2.5
Penanggulangan Deposisi
Asam
Usaha untuk
mengendalikan deposisi asam ialah menggunakan bahan bakar yang mengandung
sedikit zat pencemar, menghindari terbentuknya zat pencemar saat terjadinya
pembakaran, menangkap zat pencemar dari gas buangan dan penghematan energi.
1.
Bahan Bakar Dengan kandungan Belerang Rendah
Kandungan belerang dalam
bahan bakar bervariasi. Masalahnya ialah sampai saat ini Indonesia sangat
tergantung dengan minyak bumi dan batubara, sedangkan minyak bumi merupakan
sumber bahan bakar dengan kandungan belerang yang tinggi.
Penggunaan gas asal
akan mengurangi emisi zat pembentuk asam, akan tetapi kebocoran gas ini dapat
menambah emisi metan. Usaha lain yaitu dengan menggunakan bahan bakar
non-belerang misalnya metanol, etanol dan hidrogen. Akan tetapi penggantian
jenis bahan bakar ini haruslah dilakukan dengan hati-hati, jika tidak akan
menimbulkan masalah yang lain. Misalnya pembakaran metanol menghasilkan dua
sampai lima kali formaldehide daripada pembakaran bensin. Zat ini mempunyai
sifat karsinogenik (pemicu kanker).
2.
Mengurangi kandungan Belerang sebelum Pembakaran
Kadar belarang
dalam bahan bakar dapat dikurangi dengan menggunakan teknologi tertentu. Dalam
proses produksi, misalnya batubara, batubara diasanya dicuci untukk
membersihkan batubara dari pasir, tanah dan kotoran lain, serta mengurangi
kadar belerang yang berupa pirit (belerang dalam bentuk besi sulfida( sampai
50-90% (Soemarwoto, 1992).
3.
Pengendalian Pencemaran Selama Pembakaran
Beberapa teknologi
untuk mengurangi emisi SO2 dan Nox pada waktu pembakaran telah dikembangkan.
Slah satu teknologi ialah lime injection in multiple burners (LIMB). Dengan
teknologi ini, emisi SO2 dapat dikurangi sampai 80% dan NOx 50%.
Caranya dengan
menginjeksikan kapur dalam dapur pembakaran dan suhu pembakaran diturunkan
dengan alat pembakar khusus. Kapur akan bereaksi dengan belerang dan membentuk
gipsum (kalsium sulfat dihidrat). Penuruna suhu mengakibatkan penurunan
pembentukan Nox baik dari nitrogen yang ada dalam bahan bakar maupun dari
nitrogen udara.
Pemisahan polutan
dapat dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau Ca(OH)2. Gas buang dari
cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas FGD. Ke dalam alat ini kemudian
disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang teroksidasi oleh oksigen
menjadi SO3. Gas buang selanjutnya "didinginkan" dengan air, sehingga
SO3 bereaksi dengan air (H2O) membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat
selanjutnya direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga diperoleh hasil pemisahan
berupa gipsum (gypsum). Gas buang yang keluar dari sistem FGD sudah terbebas
dari oksida sulfur. Hasil samping proses FGD disebut gipsum sintetis karena
memiliki senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam.
4.
Pengendalian Setelah Pembakaran
Zat pencemar juga
dapat dikurangi dengan gas ilmiah hasil pembakaran. Teknologi yang sudah banyak
dipakai ialah fle gas desulfurization (FGD) (Akhadi, 2000. Prinsip teknologi
ini ialah untuk mengikat SO2 di dalam gas limbah di cerobong asap dengan
absorben, yang disebut scubbing (Sudrajad, 2006). Dengan cara ini 70-95% SO2
yang terbentuk dapat diikat. Kerugian dari cara ini ialah terbentuknya limbah.
Akan tetapi limbah itu dapat pula diubah menjadi gipsum yang dapat digunakan
dalam berbagai industri. Cara lain ialah dengan menggunakan amonia sebagai zat
pengikatnya sehingga limbah yang dihasilkan dapat dipergunakan sebagi pupuk.
Selain dapat
mengurangi sumber polutan penyebab hujan asam, gipsum yang dihasilkan melalui
proses FGD ternyata juga memiliki nilai ekonomi karena dapat dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan, misal untuk bahan bangunan. Sebagai bahan bangunan, gipsum
tampil dalam bentuk papan gipsum (gypsum boards) yang umumnya dipakai sebagai
plafon atau langit-langit rumah (ceiling boards), dinding penyekat atau pemisah
ruangan (partition boards) dan pelapis dinding (wall boards).
Amerika Serikat
merupakan negara perintis dalam memproduksi gipsum sintetis ini. Pabrik
wallboard dari gipsum sintetis yang pertama di AS didirikan oleh Standard
Gypsum LLC mulai November tahun 1997 lalu. Lokasi pabriknya berdekatan dengan
stasiun pembangkit listrik Tennessee Valley Authority (TVA) di Cumberland yang
berkapasitas 2600 megawatt.
Produksi gipsum
sintetis merupakan suatu terobosan yang mampu mengubah bahan buangan yang
mencemari lingkungan menjadi suatu produk baru yang bernilai ekonomi. Sebagai
bahan wallboard, gipsum sintetis yang diproduksi secara benar ternyata memiliki
kualitas yang lebih baik dibandingkan gipsum yang diperoleh dari penambangan.
Gipsum hasil proses FGD ini memiliki ukuran butiran yang seragam. Mengingat
dampak positifnya cukup besar, tidak mustahil suatu saat nanti, setiap PLTU batu
bara akan dilengkapi dengan pabrik gipsum sintetis.
5.
Mengaplikasikan prinsip 3R (Reuse, Recycle, Reduce)
Hendaknya prinsip
ini dijadikan landasan saat memproduksi suatu barang, dimana produk itu harus
dapat digunakan kembali atau dapat didaur ulang sehingga jumlah sampah atau
limbah yang dihasilkan dapat dikurangi. Teknologi yang digunakan juga harus
diperhatikan, teknologi yang berpotensi mengeluarkan emisi hendaknya diganti
dengan teknologi yang lebih baik dan bersifat ramah lingkungan. Hal ini juga
berkaitan dengan perubahan gaya hidup, kita sering kali berlomba membeli
kendaraan pribadi, padahal transportasilah yang merupakan penyebab tertinggi
pencemaran udara. Oleh karena itu kita harus memenuhi kadar baku mutu emisi,
baik di industri maupun transportasi.
2.6 Upaya Pencegahan Deposisi
Asam
Metode
Desulfurisasi
Di berbagai belahan dunia, dewasa ini manusia mulai sadar
akan perlunya menyelamatkan lingkungan. Tindakan-tindakan protektif kini mulai
diperkenalkan untuk melindungi sumber-sumber alam yang tak ternilai harganya
ini dari proses kehancuran total. Dengan upaya ini diharapkan membuahkan hasil
dalam bentuk berkurangnya kualitas maupun kuantitas kerusakan lingkungan,
seperti menurunnya jumlah penggundulan hutan tropis akibat hujan asam serta
berkurangnya tingkat polusi dari industri.
Tingginya tingkat pembakaran batubara dewasa ini menyebabkan
sulitnya melindungi ekosistim dari hujan asam. Di bebarapa danau para ilmuwan
telah mencoba mencegah efek hujan asam dengan cara menambahkan kapur. Hal ini
mungkin dapat membantu mengatasi permasalahan sementara, tetapi kapur tampaknya
tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan. Penyebaran kapur memerlukan
biaya yang sangat mahal dan danau yang harus ditaburi kapur jumlahnya mencapai
ribuan.
Untuk penyelesaian jangka panjang, salah satu cara yang dapat
ditempuh untuk menghindari terjadinya hujan asam adalah dengan menghentikan
sumber hujan asam tersebut. Namun sumber itu ternyata cukup banyak dan tersebar
luas di berbagai penjuru dunia. Menurunkan tingkat pelepasan SO2 dari pusat
pembangkit listrik akan memakan biaya yang sangat besar.
Sebagai upaya untuk mencegah berlanjutnya hujan asam, dewasa
ini telah dikembangkan sistim perlatan berteknologi tinggi yang mampu
memisahkan oksida sulfur dari gas buang yang dikeluarkan cerobong, baik dari
pusat pembangkit listrik maupun industri lainnya yang membakar batubara.
Pemisahan oksida sulfur dari gas buang sering menjadi pilihan meskipun agak
sulit dilakukan. Kesulitan ini terutama karena oksida sulfur bercampur dengan
gas buang dengan volume yang cukup besar sehingga kadarnya sangat rendah.
Beberapa gram oksida sulfur biasanya terdistribusi merata dalam volume 1 meter
kubik gas buang.
Metode pemisahan oksida sulfur yang lebih dikenal dengan
istilah desulfurisasi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan metode
basah (wet method) dan metode kering (dry method). Cara pertama disebut metode
basah karena menggunakan cairan sebagai media penyerap sulfur. Cara kedua
disebut metode kering karena bahan-bahan padat seperti oksida metal dan arang
aktif digunakan sebagai pengikat sulfur. Namun saat ini hanya arang aktif yang
masih digunakan untuk keperluan praktis.
Sebagian
besar peralatan desulfurisasi yang dioperasikan dewasa ini bekerja menggunakan
metode basah. Salah satu peralatan jenis ini adalah alat desulfurisasi yang
menggunakan penyerap/pengikat batu kapur (lime stone) atau Ca(OH)2. Gas buang
dari cerobong dimasukkan ke dalam alat sehingga SO2 bereaksi dengan Ca(OH)2 dan
diperoleh hasil pemisahan berupa gipsa (gypsum). Gas buang yang keluar dari
sistim desulfurisasi sudah terbebas dari oksida sulfur.
Di masa lampau, banyak orang mengira bahwa peralatan untuk
mencegah polusi udara seperti peralatan desulfurisasi tadi tidak ekonomis
karena perlu biaya mahal dan membebani biaya operasi suatu instalasi. Namun
saat ini, peralatan tersebut ternyata memegang peranan yang sangat penting, terutama
dalam kaitannya untuk mencegah berlanjutnya hujan asam yang dapat mengakibatkan
krisis ekologi secara global, yang akhirnya dapat membinasakan kehidupan di
muka bumi ini.
BAB V
Kesimpulan
Saran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar