Sabtu, 22 September 2012

makalah hutan bakau


BAB I
PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Berdasarkan keadaan tanahnya, hutan terbagi menjadi  hutan rawa air-tawar atau hutan rawa (freshwater swamp-forest), hutan rawa gambut (peat swamp-forest), hutan rawa bakau  atau hutan bakau (mangrove forest), hutan kerangas (heath forest), hutan tanah kapur (limestone forest).
Dalam beberapa dekade keberadaan berbagai jenis hutan di Indonesia semakin terancam baik oleh bencana alam maupun aktivitas manusia.Hutan Bakau (mangrove) ikut terdegradasi. Meski kerusakan  hutan bakau di sepanjang pantai Indonesia tidak secepat hutan tropis, keberadaan bakau cukup memprihatinkan. Luas hutan bakau Indonesia pada tahun 1997 antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar. Kini hanya tersisa 40% hutan bakau yang masih baik di seluruh Indonesia.
Hutan bakau memiliki berbagai manfaat baik bagi alam itu sendiri  maupun manusia. Karena pentingnya manfaat hutan bakau, maka penulis menyajikan pengetahuan mengenai kondisi hutan bakau saat ini sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan kegiatan  yang dapat merusak hutan bakau. Selain itu juga  disampaikan cara melestarikan populasi hutan bakau.

1.2      Rumusan Masalah
Makalah ini akan memberikan penjelasan mengenai :
1.    Pengertian hutan bakau
2.    Luas penyebaran hutan bakau
3.    Jenis tumbuhan bakau
4.    Manfaat hutan bakau
5.    Penyebab kerusakan
6.    Rehabilitasi hutan bakau

1.3      Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini memberikan pengetahuan tentang pengertian hutah bakau, luas penyebaran hutan bakau, jenis tumbuhan bakau, manfaat hutan bakau, penyebab kerusakan, dan cara rehabilitasi hutan bakau.

1.4      Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
1.2         Rumusan Masalah
1.3         Tujuan
1.4         Sistematika Penulisan
BAB II HUTAN BAKAU
2.1       Pengertian Hutan Bakau
2.2       Klasifikasi Hutan Bakau Berdasarkan Geomorfologi dan Jenis Tumbuhan Bakau
2.3       Luas dan Penyebaran
2.4       Fungsi Hutan Bakau
2.5       Manfaat Hutan Bakau
2.5.1   Manfaat Hutan Bakau Bagi Perikanan
2.5.2   Manfaat Hutan Bakau Bagi Perekonomian
2.6       Faktor Penyebab Kerusakan Kawasan Mangrove
2.7       Dampak Lanjutan Akibat Pencemaran
2.8       Alternatif Rahabilitasi Kawasan Mangrove
2.8.1     Keseuaian jenis Pohon dengan Habitatnya (Species-Site Matching)
2.8.2   Teknik Rehabilitasi
2.8.2.1      Rehabilitasi pada Areal Jalur Hijau Mangrove
2.8.2.2      Rehabilitasi pada Areal di Luar Jalur Hijau Mangrove
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1       Kesimpulan
3.2       Saran

BAB II
HUTAN BAKAU

2.1     Pengertian Hutan Bakau
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu utmbuh danberkembangbiak di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut.
Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu. Pada kawasan yang memiliki ombak yang kuat, benih tidak dapat tertanam dengan baik sehingga tidak dapat tumbuh akar.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-masing elmen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar.

2.2     Klasifikasi Hutan Mangrove Berdasarkan Geomorfologi dan Jenis tumbuhan Bakau

2.2.1   Klasifikasi Hutan Mangrove Berdasarkan Geomorfologi

Ada enam jenis hutan bakau berdasarkan geomorfologi. Jenis-jenis tersebut ialah:
1.    Overwash mangrove forest
Mangrove merah merupakan jenis yang dominan di pulau ini yang sering dibanjiri dan dibilas oleh pasang, menghasilkan ekspor bahan organik dengan tingkat yang tinggi. Tinggi pohon maksimum adalah sekitar 7 meter.

Gambar 1 Overwash mangrove forest
Sumber : acehpedia.org

2.    Fringe mangrove forest
Mangrove fringe ini ditemukan sepanjang terusan air, digambarkan sepanjang garis pantai yang tingginya lebih dari rata-rata pasang naik. Ketinggian mangrove maksimum adalah sekitar 10 meter.

Gambar 2 Fringe mangrove forest
Sumber : acehpedia.org
3.    Riverine mangrove forest
Kelompok ini mungkin adalah hutan yang tinggi letaknya sepanjang daerah pasang surut sungai dan teluk,  merupakan daerah pembilasan reguler.  Ketiga jenis bakau, yaitu putih  (Laguncularia racemosa), hitam (Avicennia germinans) dan mangrove  merah (Rhizophora mangle) adalah terdapat di dalamnya. Tingginya rata- rata dapat mencapai 18-20 meter.

Gambar 3 Riverine mangrove forest
Sumber : acehpedia.org

4.    Basin mangrove forest
Kelompok ini biasanya adalah jenis yang kerdil terletak di bagian dalam  rawa Karena tekanan runoff terestrial yang menyebabkan terbentuknya  cekungan atau terusan ke arah pantai.  Bakau merah terdapat dimana ada pasang surut yang membilas tetapi ke arah yang  lebih dekat pulau, mangrove putih dan  hitam lebih mendominasi. Pohon dapat  mencapai tinggi 15 meter.

Gambar 4 Basin mangrove forest
Sumber : acehpedia.org

5.    Hammock forest
Biasanya serupa dengan tipe (4) di atas tetapi mereka ditemukan pada  lokasi sedikit lebih tinggi dari area  yang melingkupi. Semua jenis ada tetapi  tingginya jarang lebih dari 5 meter.
Gambar 5 Hammock forest
Sumber : acehpedia.org

6.    Scrub or dwarf forest
Jenis komunitas ini secara khas ditemukan  di pinggiran yang rendah. Semua dari  tiga jenis ditemukan tetapi jarang  melebihi 1.5 m ( 4.9 kaki). Nutrient merupakan faktor pembatas.

Gambar 6 Scrub or dwarf forest
Sumber : acehpedia.org

2.2.2   Jenis Tumbuhan Bakau
Ada tiga jenis bakau yang biasa dijumpai di hutan-hutan bakau di Indonesia. Jenis-jenis tersebut ialah:
1.    Bakau minyak
Memiliki nama ilmiah Rhizophora apiculata Bl. (atau sering pula disebut R. conjugata L.), bakau minyak juga disebut dengan nama bakau tandok, bakau akik, bakau kacang dan lain-lain. Tandanya, dengan warna kemerahan pada tangkai daun dan sisi bawah daun.
Bunga biasanya berkelompok dua-dua, dengan daun mahkota gundul dan kekuningan. Buah kecil, coklat, panjangnya 2 – 3,5 cm. Hipokotil dengan warna kemerahan atau jingga, dan merah pada leher kotiledon bila sudah matang. Panjang hipokotil sekitar 18 – 38 cm.
Menyukai tanah berlumpur halus dan dalam, yang tergenang jika pasang serta terkena pengaruh masukan air tawar yang tetap dan kuat. Menyebar mulai dari Sri Lanka, Semenanjung Malaya, seluruh Indonesia, sampai ke Australia tropis dan pulau-pulau di Pasifik.

Gambar 7 Bakau Minyak

2.    Bakau kurap
Nama ilmiahnya adalah Rhizophora mucronata Poir. Juga disebut dengan nama-nama lain seperti bakau betul, bakau hitam dan lain-lain. Kulit batang hitam, memecah datar.
Bunga berkelompok, 4-8 kuntum. Daun mahkota putih, berambut panjang hingga 9 mm. Buah bentuk telur, hijau kecoklatan, 5 – 7 cm. Hipokotil besar, kasar dan berbintil, panjang 36 – 70 cm. Leher kotiledon kuning jika matang.
Sering bercampur dengan bakau minyak, namun lebih toleran terhadap substrat yang lebih keras dan berpasir. Lebih menyukai substrat yang tergenang dalam dan kaya humus; jarang sekali didapati di tempat yang jauh dari pasang surut. Menyebar luas mulai dari Afrika timur, Madagaskar, Mauritania, Asia Tenggara, kepulauan Nusantara, Melanesia dan Mikronesia. Diintroduksi ke Hawaii.

Gambar 8 Bakau Kurap
Sumber : www.proseanet.org


3.    Bakau kecil
Pohon dengan satu atau banyak batang. Tidak seperti dua kerabatnya terdahulu yang dapat mencapai 30 m, bakau kecil hanya tumbuh sampai dengan tinggi sekitar 10 m. Nama ilmiahnya adalah Rhizophora stylosa Griff.
Bunga dalam kelompok besar, 8-16 kuntum, kecil-kecil. Daun mahkota putih, berambut panjang hingga 8 mm. Buah coklat kecil, panjang s/d 4 cm. Hipokotil berbintil agak halus, 20-35 cm (kadang-kadang 50 cm); leher kotiledon kuning kehijauan ketika matang.
Bakau ini menempati habitat yang paling beragam. Mulai dari lumpur, pasir sampai pecahan batu atau karang. Mulai dari tepi pantai hingga daratan yang mengering. Terutama di tepian pulau yang berkarang. Diketahui menyebar di Taiwan, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, dan Australia tropis. Di Indonesia didapati mulai dari Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Menurut Tomlinson (1986) jenis tanaman bakau dapat dibagi ke dalam lima keluarga dengan genus yang berbeda-beda di setiapnya.
1.    Acanthaceae, Avicenniaceae atau Verbenaceae (black mangrove)
Avicennia adalah sebuah genus pohon bakau. Jenis ini muncul di daerah muara, dan memiliki akar napas. Jenis-jenis avicennia banyak terdapat di sebelah selatan Garis Balik Utara. Avicennia dalam bahasa Indonesia disebut juga api-api.

Gambar 9 Bakau  Hitam
Sumber : stuffsandhopes.blogspot.com

2.    Combretaceae (white mangrove)
Combretaceae adalah suatu keluarga dari tanaman berbunga. Keluarga ini mencakup sekitar 600 jenis pohon, shrubs, dan liana dalam 20 genera. Keluarga ini meliputi pohon Leadwood, Combretum imberbe. Tiga genera, yaitu Conocarpus, Laguncularia dan Lumnitzera, tumbuh di habitat mangrove. Combretaceae tersebar luas di daerah subtropis dan tropis. Beberapa anggota keluarga ini berguna konstruksi kayu, seperti idigbo dari Terminalia ivorensis.
Gambar 10 Bakau Putih
Sumber : stuffsandhopes.blogspot.com
3.    Arecaceae (mangrove palm)
Palm atau Palmae atau Panamea (juga dikenal dengan nama umum pohon palem), merupakan anggota dari keluarga tanaman monokotil, Arecales. Ada sekitar 202 jenis yang saat ini diketahui sekitar 2600 spesies, yang sebagian besar berada di tropis, subtropis dan iklim sedang dan hangat. Pohon palem diketahui cirinya dari ukurannya yang besar, kompleks, dan daun-daun hijau yang terdapat di ujung batang yang tidak bercabang. Namun, banyak pohon palem yang tidak memenuhi karakteristik di atas. Selain beragam secara morfologi, pohon kelapa juga mendiami hampir setiap habitat selain di pantai, dari hutan hujan sampai gurun.
Gambar 11 Bakau Palem
Sumber : stuffsandhopes.blogspot.com
4.    Rhizoporaceae (red mangrove)
Rhizophoraceae merupakan sebuauh keluarga bakau yang terdiri dari tanaman-tanaman berbunga daerah tropis dan subtropis. Pohon bakau merupakan anggota yang paling terkenal, dari genus Rhizophora. Terdapat sekitar 120 spesies tersebar dalam 16 genera, kebanyakan di Asia dan Afrika.

Gambar 12 Bakau Merah
Sumber : stuffsandhopes.blogspot.com
5.    Lythraceae (mangrove apple)
Lythraceae adalah sebuah keluarga tanaman yang terdiri tanaman berbunga. Keluarga ini beranggotakan 500-600 spesies kebanyakan jenis tumbuhan, dengan pohon dan beberapa shrubs, dalam 32 genera. Lythraceae memiliki persebaran di seluruh dunia, dengan sebagian besar spesies di daerah tropis tetapi di daerah beriklim sedang juga. Tanaman delima juga termasuk keluarga ini.
Gambar 13 Bakau Apel
Sumber : stuffsandhopes.blogspot.com
2.3     Luas dan Penyebaran
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia, dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia yang jumlahnya mencapai 18 juta hectare. Jumlah itu, setara dengan 3,8% dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan, melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan.
Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia.

Gambar 14 Peta Penyabaran Hutan Bakau di Indonesia
Sumber : ajiputrap.blogspot.com
2.4     Fungsi Hutan Bakau
Menurut Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat sebagai berikut :
1.    Habitat satwa langka
Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus)
 
Gambar 15 Hutan Bakau Sebagai Habitat Satwa Langka
Sumber : www.jochemnet.de

2.    Pelindung terhadap bencana alam
Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.

Gambar 16 Bakau Sebagai Pemecah Ombak
Sumber : sovia-rini-biologi.blogspot.com

3.    Pengendapan lumpur
Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan bakau, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.

4.    Penambah unsur hara
Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.

5.    Penambat racun
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan racun secara aktif

6.    Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
Hasil alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk alamiah di hutan mangrove dan terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.

7.    Sumber plasma nutfah
Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untuk memelihara populasi kehidupan liar itu sendiri.


8.    Rekreasi dan pariwisata
Hutan bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan yang ada di dalamnya. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Padang, Sumatera Barat yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata mangrove.
Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.

Gambar 17 Wisata Hutan Bakau Muara Angke
Sumber : matanews.com

9.    Sarana pendidikan dan penelitian
Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.

10. Memelihara proses-proses dan sistem alami
Hutan bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi di dalamnya.

Gambar 18 Rantai Makanan di Kawasan Mangrove
                                                  Sumber : www.jochemnet.de     

11. Penyerapan karbon
Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi hutan bakau justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.

12. Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi hutan bakau mampu menjaga kelembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.

2.5     Manfaat Hutan Bakau
2.5.1  Manfaat Hutan Bakau Bagi Perikanan
Dalam tinjauan siklus biomassa, hutan mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat kawin/pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting dan bunga). Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan deposit seperti moluska, kepiting dang cacing polychaeta. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga Singkatnya, hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragamjenis-jenis komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari siklus hidupnya.

Gambar 19 Bakau Sebagai Habitat Organisme air
Sumber : www.jochemnet.de

2.5.2  Manfaat Hutan Bakau Bagi Perekonomian
Berdasarkan kajian ekonomi terhadap hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove (bakau) ternyata sangat mengejutkan, di beberapa daerah seperti Madura dan Irian Jaya dapat mencapai triliunan rupiah, kata Asisten Deputi Urusan Eksosistem Pesisir dan Laut Kementerian Lingkungan Hidup, Dr LH Sudharyono.
Pada Workshop Perencanaan Strategis Pengendalian Kerusakan Hutan Mangrove se-Sumatera di Bandar Lampung terungkap bahwa hasil penelitian Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB-Bogor dengan Kantor Menteri Negara LH (1995) tentang hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove Hasilnya ternyata sangat mencengangkan, di Pulau Madura, diperoleh Total Economic Value (TEV) sebesar Rp 49 trilyun, untuk Irian Jaya Rp. 329 trilyun, Kalimantan Timur sebesar Rp. 178 trilyun dan Jabar Rp. 1,357 trilyun. Total TEV untuk seluruh Indonesia mencapai Rp. 820 trilyun.
Kayu bakau memiliki kegunaan yang baik sebagai bahan bangunan, kayu bakar, dan terutama sebagai bahan pembuat arang. Kulit kayu menghasilkan tanin yang digunakan sebagai bahan penyamak.
Sebagai kayu bakar, secara tradisional masyarakat biasa memakai jenis Xylocarpus (Nirih atau Nyirih). Sedangkan untuk bahan baku pembuat arang biasa dipakai Rhizophora sp., sedangkan penggunaan kulit kayu bakau untuk diambil tanninnya, hampir-hampir tidak terdengar lagi.
Satu lagi kegunaan kayu bakau, adalah untuk bahan kertas. Kayu bakau biasa dicincang dengan mesin potong menghasilkan serpihan kayu / wood chips. Menurut berita, jenis kertas yang dibuat dari kayu bakau adalah termasuk kertas kualitas tinggi.
Kegunaan dari hutan bakau yang paling besar adalah sebagai penyeimbang ekologis dan sumber (langsung atau tidak langsung) pendapatan masyarakat pesisir, di mana peran pemerintah untuk pengaturannya masih sangat minim.

2.6     Faktor Penyebab Kerusakan Kawasan Mangrove

            Akar Permasalahan

o   Kependudukan dan Kemiskinan
o   Tingkat Konsumsi Berlebihan dan Kesenjangan Sumberdaya Alam
o   Kelembagaan dan Penegakan Hukum
o   Rendahnya Pemahaman tentang Ekosistem
o   Kegagalan sistem Ekonomi dan Kebijakan dalam Penilaian Ekosistem

Gambar 20 Hutan Bakau yang Rusak
Sumber : purboari.blogspot.com

Penyebab rusaknya ekosistem mangrove antara lain :

1.    Over eksploitasi

2.    Penggunaan Teknik dan Peralatan Penangkapan Ikan yang merusak Lingkungan

o   Alat Pengumpul Ikan: Harus dibatasi baik jumlah maupun ukuran agar tidak terjadi tangkap lebih dan mengganggu daur hidup
o   Bahan Peledak, Beracun, dan Pukat Harimau: Mematikan organisme lain yang bukan target, Penggunaan bom 0,5 kg menghancurkan tk pd radius 3 m dan pd radius lbh dr 3 m Acropora patah-patah
 
Gambar 21 Peledakan di Kawasan  Hutan Bakau

3.    Degradasi Fisik Habitat Hayati

Gambar 22 Degradasi
Sumber : www.oceanclimatechange.org

4.    Konversi Kawasan Perlindungan Laut

o    Pembangunan kawasan pemukiman

Gambar 23 Reklamasi pantai
Sumber : nasional.kompas.com

o    Kegiatan rekreasi dan pariwisata
o    Konversi mangrove untuk berbagai peruntukan
o    Pembangunan berbagai industri

5.    Perubahan Iklim Global dan Bencana Alam

o     Bleaching
o     Tsunami
6.       usaha tambak udang
7.      penebangan kayu dan logging
8.      penambangan minyak lepas pantai
9.      pencemaran bibir pantai
10.   urbanisasi dan perluasan wilayah
11.   pembangunan jalan dan infrastruktur

2.7     Dampak Lanjutan akibat pencemaran
          Pencemaran pada hutan bakau dapat menimbulkan dampak lanjutan sebagai berikut :
1.      Sedimentasi
        Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan material yang ditransport oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu cekungan.

2.      Eutrofikasi
        Eutrofikasi merupakan problem lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah fosfat (PO3-), khususnya dalam ekosistem air tawar. Definisi dasarnya adalah pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Air dikatakan eutrofik jika konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang 35-100 µg/L. Sejatinya, eutrofikasi merupakan sebuah proses alamiah di mana danau mengalami penuaan secara bertahap dan menjadi lebih produktif bagi tumbuhnya biomassa. Diperlukan proses ribuan tahun untuk sampai pada kondisi eutrofik. Proses alamiah ini, oleh manusia dengan segala aktivitas modernnya, secara tidak disadari dipercepat menjadi dalam hitungan beberapa dekade atau bahkan beberapa tahun saja.


Gambar 24 Eutrofikasi Hutan Bakau
Sumber : www.lifeinfreshwater.org
3.      Kekurangan Oksigen
4.      Masalah Kesehatan Umum
5.      Pengaruh Terhadap Perikanan
Tabel 1 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Hutan Bakau
Kegiatan
Dampak potensial
Tebang habis
Berubahnya komposisi tumbuhan : pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonomisnya rendah dan hutan yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi.
Pengalihan aliran air tawar terutama pada pembangunan irigasi
·         Peningkatan salinitas hutan mangrove menyebabkan dominasi dari spesies–spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin. Ikan dan udang dalam stadium larva mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan
·         Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan unsur hara melalui aliran air tawar berkurang
Konversi menjadi lahan pertanian dan perikanan
·         Mengancam regenerasi stok udang dan ikan yng memerlukan hutan mangrove nursery ground larva udang dan ikan atau stadium muda ikan atau udang
·         Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan bakau
·         Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang atau melalui saluran-saluran yang dibuat manusia yang bermuara di laut
·         Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove
Pembuangan samoah cair (sewage)
Penurunan kandungan oksigen terlarut dalam air. Bahkan dapat terjadi  keadaan asoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik  yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indiksi terjadinya dekomposisi anaerob
Pembuangan sampah padat
·         Kemungkinan terlapisnya pneumatofora oleh sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pada pohon mengrove
·         Perembesan bahan pencemar pada sampah padat  yang kemudian larut dalam air di sekitar ke perairan pembuangan sampah
Pencemaran minyak yang disebabkan oleh tumpahan minyak dalam jumlah besar
·         Kemungkinan terlapisnya pneumatofora oleh minyak yang akan mengakibatkan kematian pada pohon mengrove
Pembuangan dan ekstraksi mineral
·         Rusaknya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva ikan dan udang yang bernilai ekonomis penting di lepas pantai dan kemudian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut
·         Pengendapan yang berlebihan yang dapat mematikan tumbuhan mengrove.

2.8     Alternatif Rahabilitasi Kawasan Mangrove
Secara garis besar alternatif rehabilitasi kawasan mangrove untuk propinsi Jawa Barat dan Banten terbagi ke dalam dua lokasi sasaran, yakni (1) rehabilitasi pada areal jalur hijau mangrove dan (2) rehabilitasi pada areal di luar jalur hijau mangrove. Bentuk dan teknik rehabilitasi pada setiap daerah sasaran didasarkan kepada fungsi kawasan, kondisi biofisik sumberdaya mangrove dan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan mangrove.

2.8.1  Keseuaian jenis Pohon dengan Habitatnya (Species-Site Matching)
Kegiatan species-site matching sangat berguna untuk menunjang keberhasilan penanaman suatu lahan, karena dengan kegiatan ini akan diketahui kesesuaian suatu jenis tumbuhan dengan lingkungannya.
Khusus untuk mangrove, faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk melakukan species-site matching adalah salinitas, frekuensi penggenangan, tekstur tanah (kandungan pasir dan liat/lumpur), dan kekuatan ombak dan angin. Untuk lebih jelasnya keseuaian beberapa jenis mangrove dengan faktor lingkungannya dapat dilihat pada Tabel 2.7.1.

Tabel 2 Kesesuaian Beberapa Jenis Mangrove dengan Faktor-faktor Lingkungan (Kusmana, et al., 1997, Kusmana dan Onrizal, 1998)
No.
Jenis
Salinitas (o/oo)
Toleransi terhadap Kekuatan Ombak dan Angin
Toleransi terhadap Kandungan Pasir
Toleransi terhadap Lumpur
Frekuensi Penggenangan
1.
Rhizophora mucronata
10 -30
ST
MD
ST
20 hari/bln
2.
R. sylosa
10 -30
MD
ST
ST
20 hari/bln
3.
R. apiculata
10 -30
MD
MD
ST
20 hari/bln
4.
Bruguiera parviflora
10 -30
SV
MD
ST
10-19 hari/bln
5.
B. sexangula
10 -30
SV
MD
ST
10-19 hari/bln
6.
B. gymnorrhiza
10 -30
SV
SV
MD
10-19 hari/bln
7.
Sonneratia alba
10 -30
MD
ST
ST
20 hari/bln
8.
S. caseolaris
10 -30
MD
MD
MD
20 hari/bln
9.
Xylocarpus granatum
10 -30
SV
MD
MD
9 hari/bln
10.
Heritiera littoralis
10 -30
VS
MD
MD
9 hari/bln
11.
Lumnitzera racemosa
10 -30
VS
ST
MD
Bbrp kali/thn
12.
Cerbera manghas
0 - 10
VS
MD
MD
Tergenang musiman
13.
Nypa fruticans
0 - 10
VS
SV
ST
Tergenang musiman
14.
Avicennia spp.
10 -30
MD
ST
ST
20 hari/bln

Keterangan : ST = Sesuai, MD = Moderat, SV = Kurang Sesuai, VS = Tidak Sesuai
Sebagai arahan lebih lanjut bagi upaya pemilihan jenis mangrove yang akan ditanam, maka pada Tabel 6.2. disajikan beberapa jenis pohon mangrove yang direkomendasikan ditanam disetiap land system setelah mempertimbangkan kondisi faktor-faktor lingkungan tapak.

Tabel 3 Jenis pohon mangrove yang sesuai untuk merehabilitasi jalur hijau mangrove di setiap land system di Jawa Barat dan Banten
No.
Land system
Jenis Pohon
1.
PRT
Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Lumnitzera racemosa, Avicennia spp.
2.
KHY
Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Bruguiera parviflora, Bruguiera sexangula, Avicennia spp., Sonneratia spp.
3.
PTG
Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Bruguiera parviflora, Bruguiera sexangula, Avicennia spp., Sonneratia spp., Excoecaria agallocha, Ceriops tagal.
4.
MKS
Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Bruguiera parviflora, Bruguiera sexangula, Avicennia spp., Sonneratia spp., Excoecaria agallocha, Ceriops tagal.
5.
KJP
Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., Bruguiera spp.



2.8.2  Teknik Rehabilitasi
Secara garis besar alternatif rehabilitasi kawasan mangrove terbagi ke dalam dua lokasi sasaran, yakni (1) rehabilitasi pada areal jalur hijau mangrove dan (2) rehabilitasi pada areal di luar jalur hijau mangrove. Bentuk dan teknik rehabilitasi pada setiap daerah sasaran didasarkan kepada fungsi kawasan, kondisi biofisik sumberdaya mangrove dan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan mangrove.
2.8.2.1      Rehabilitasi pada Areal Jalur Hijau Mangrove
Areal jalur hijau mangrove berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1990 berfungsi sebagai kawasan lindung, sehingga bentuk kegiatan rehabilitasi yang dilakukan pada areal jalur hijau mangrove ini harus mendukung fungsi lindung kawasan mangrove tersebut.
Bentuk kegiatan rehabilitasi pada jalur hijau mangrove yang mendukung fungsi lindungnya adalah kegiatan reboisasi (pada areal berstatus sebagai kawasan hutan) dan kegiatan penghijauan (pada areal berstatus sebagai kawasan non hutan/tanah milik) dengan jarak yang cukup rapat (1 x 1 m) dan dengan jenis pohon mangrove yang sesuai dengan kondisi biofisik areal jalur hijau mangrove pada masing-masing land system, seperti yang tertera pada Tabel 5.2. di atas.
Pada areal jalur hijau mangrove ini tidak dibenarkan adanya kegiatan selain dari kegiatan yang berhubungan dengan penanaman (reboisasi atau penghijauan), kecuali areal jalur hijau mangrove tersebut termasuk ke dalam kawasan hutan wisata. Untuk areal jalur hijau mangrove yang dikelola sebagai hutan wisata, bentuk kegiatan yang dibenarkan selain kegiatan penanaman adalah terbatas hanya pada pembuatan koridor yang berfungsi sebagai lalu lintas perahu atau speed boat.

2.8.2.2      Rehabilitasi pada Areal di Luar Jalur Hijau Mangrove
Berdasarkan fungsinya, areal di luar jalur hijau mangrove terbagi atas (a) hutan lindung dan (b) hutan produksi/budidaya. Bentuk kegiatan rehabilitasi terhadap areal di luar jalur hijau ini harus disesuaikan dengan fungsi masing-masing lokasi sasaran.


a.    Rehabilitasi pada Hutan Lindung
Pada areal di luar jalur hijau mangrove yang berfungsi sebagai hutan lindung bentuk kegiatan rehabilitasinya adalah kegiatan reboisasi pada kawasan yang kritis dengan jenis pohon mangrove yang sesuai dan dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing lokasi sasaran. Pada kawasan hutan lindung ini, seperti halnya pada areal jalur hijau mangrove, tidak diperbolehkan adanya aktivitas yang tidak berhubungan dengan kegiatan reboisasi, kecuali kawasan hutan lindung tersebut termasuk areal yang dikelola sebagai hutan wisata. Untuk kawasan hutan lindung yang dikelola sebagai hutan wisata ini, aktivitas lain yang diperbolehkan terbatas hanya pada kegiatan pembuatan koridor yang berfungsi sebagai lalu lintas baik untuk perahu, speed boat, maupun untuk pejalan kaki.

b.    Rehabilitasi pada Hutan Produksi/Budidaya
Status areal di luar jalur hijau mangrove yang berfungsi sebagai hutan produksi/ budidaya dapat berupa (1) kawasan hutan dan (2) kawasan non hutan/tanah milik. Oleh karenanya, rehabilitasi terhadap lokasi ini selain harus memperhatikan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan, juga harus memperhatikan status kawasan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadinya tumpang tindih pihak yang berwenang melakukan pengelolaan terhadap suatu kawasan. Walaupun demikian, faktor yang sangat penting dalam penentuan bentuk kegiatan rehabilitasi kawasan mangrove yang berfungsi sebagai hutan produksi/budidaya ini adalah faktor kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan.
Berdasarkan identifikasi penyebab kerusakan mangrove di Jawa Barat dan Banten, seperti yang disajikan pada bagian Kondisi Fisik dan Sosial Ekonomi, terlihat bahwa kerusakan sumberdaya mangrove dan ekosistemnya di lima propinsi sasaran sangat dominan disebabkan oleh alih fungsi kawasan mangrove menjadi lahan tambak dengan mengabaikan aspek kelestarian sumberdaya mangrove dan ekosistemnya. Pengusahaan kawasan mangrove tersebut menjadi tambak sebagian besar dilakukan oleh pengusaha yang berdomisili/berasal dari luar kawasan mangrove, seperti Jakarta dan ibu kota propinsi. Oleh karena itu, pola rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak tersebut harus dapat mengkombinasikan kelestarian sumberdaya mangrove dan ekosistemnya dengan usaha pertambakan. Untuk saat ini, pola rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak tersebut yang memenuhi persyaratan di atas adalah pola pengelolaan dengan sistem sylvofishery, baik dengan model empang parit, model komplangan maupun model jalur tanaman dalam tambak.
Perbandingan luas antara hutan mangrove dan tambak pada sistem sylvofishery didasarkan pada status kawasan mangrove, kondisi tegakan dan tujuan pengelolaan. Untuk menentukan perbandingan luas antara hutan mangrove dan tambak yang optimal sangat diperlukan pengkajian lebih lanjut. Walaupun demikian, untuk saat ini, berdasarkan uji coba yang telah dilakukan Perum Perhutani, ada 2 (dua) macam perbandingan hutan mangrove dengan tambak yang dianggap dapat menjamin kelestarian sumberdaya mangrove dan ekosistemnya serta kelangsungan usaha pertambakan, yakni (1) 80 : 20, dimana 80 % luas areal yang dikelola harus tetap berupa hutan mangrove dan 20 % berupa tambak dan (2) 30 : 70, dimana 30 % dari luas areal yang dikelola berupa hutan mangrove dan 70 % berupa tambak.
Perbandingan hutan mangrove dan tambak sebesar 80 : 20 diterapkan pada hutan mangrove yang masih utuh , baik yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan/tanah milik. Perbandingan ini lebih menekankan kepada aspek kelestarian sumberdaya mangrove dan ekosistemnya daripada hasil tambak, berupa ikan atau udang.
Sedangkan perbandingan hutan mangrove dan tambak sebesar 30 : 70 digunakan untuk hutan mangrove yang berada di luar kawasan hutan yang telah banyak dibuka/digarap guna peruntukan lain. Perbandingan ini lebih diarahkan untuk memberi peluang kepada masyarakat dalam meningkatkan hasil pendapatan dari produksi tambak berupa ikan atau udang tanpa meninggalkan aspek kelestariannya.





BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1         Kesimpulan
Alam memiliki siklus regenerasi yang seimbang. Adanya campur tangan manusia menyebabkan percepatan kerusakan lingkungan. Terdapat berbagai cara untuk merehabilitasi lingkungan yang telah rusak, namun dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengembalikan lingkungan seperti sedia kala. Selain itu kondisinya tidak akan lebih baik dibandingkan apa yang dikerjakan alam secara alami.
Contohnya adalah hutan bakau di Indonesia yang hanya dalam 13 tahun luasnya berkurang mencapai 60%. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena hutan bakau memiliki peranan penting bagi ekosistem maupun manusia.
Oleh karena itu sebagai generasi pewaris bumi kita perlu melestarikan keberadaan hutan bakau untuk kehidupan manusia yang akan datang. Cara-cara tersebut antara lain dengan menghentikan segala bentuk aktivitas yang dapat merusak hutan bakau dan melakukan usaha rehabilitasi.

3.2         Saran
Untuk melestarikan keberadaan hutan bakau maka penyusun menyarankan agar masyarakat menghentikan segala bentuk aktivitas yang dapat merusak hutan bakau dan melakukan usaha rehabilitasi baik untuk mencegah kerusakan hutan bakau maupun memulihkan kembali kondisi hutan bakau yang telah rusak. Selain itu pemerintah juga perlu mempertegas undang-undang yang mengatur tentang perusakan kawasan hutan dan menggalakkan program-program penyelamatan hutan bakau.




DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar