BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Hutan
adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Berdasarkan keadaan tanahnya, hutan terbagi
menjadi hutan rawa air-tawar atau hutan rawa (freshwater swamp-forest), hutan rawa gambut (peat swamp-forest), hutan rawa bakau atau hutan bakau (mangrove forest), hutan kerangas (heath forest), hutan tanah kapur (limestone forest).
Dalam beberapa dekade keberadaan berbagai
jenis hutan di Indonesia semakin terancam baik oleh bencana alam maupun
aktivitas manusia.Hutan Bakau (mangrove) ikut terdegradasi.
Meski kerusakan hutan bakau di sepanjang
pantai Indonesia tidak secepat hutan tropis, keberadaan bakau cukup
memprihatinkan. Luas hutan bakau Indonesia pada tahun 1997 antara 2,5 hingga
4,5 juta hektar. Kini hanya tersisa 40% hutan bakau yang masih baik di seluruh
Indonesia.
Hutan bakau memiliki berbagai manfaat baik
bagi alam itu sendiri maupun manusia.
Karena pentingnya manfaat hutan bakau, maka penulis menyajikan pengetahuan
mengenai kondisi hutan bakau saat ini sangat penting untuk menumbuhkan
kesadaran masyarakat agar tidak melakukan kegiatan yang dapat merusak hutan bakau. Selain itu
juga disampaikan cara melestarikan
populasi hutan bakau.
1.2
Rumusan Masalah
Makalah
ini akan memberikan penjelasan mengenai :
1. Pengertian
hutan bakau
2. Luas
penyebaran hutan bakau
3. Jenis
tumbuhan bakau
4. Manfaat
hutan bakau
5. Penyebab
kerusakan
6. Rehabilitasi
hutan bakau
1.3
Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini memberikan pengetahuan tentang pengertian hutah bakau,
luas penyebaran hutan bakau, jenis tumbuhan bakau, manfaat hutan bakau, penyebab
kerusakan, dan cara rehabilitasi hutan bakau.
1.4
Sistematika
Penulisan
BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
1.2
Rumusan
Masalah
1.3
Tujuan
1.4
Sistematika
Penulisan
BAB
II HUTAN BAKAU
2.1 Pengertian Hutan Bakau
2.2 Klasifikasi
Hutan Bakau Berdasarkan Geomorfologi dan Jenis Tumbuhan Bakau
2.3 Luas dan
Penyebaran
2.4 Fungsi Hutan Bakau
2.5 Manfaat Hutan Bakau
2.5.1 Manfaat Hutan Bakau Bagi Perikanan
2.5.2 Manfaat Hutan Bakau Bagi Perekonomian
2.6 Faktor Penyebab Kerusakan Kawasan
Mangrove
2.7 Dampak Lanjutan Akibat Pencemaran
2.8 Alternatif Rahabilitasi Kawasan Mangrove
2.8.1 Keseuaian jenis Pohon dengan Habitatnya (Species-Site Matching)
2.8.2 Teknik Rehabilitasi
2.8.2.1 Rehabilitasi
pada Areal Jalur Hijau Mangrove
2.8.2.2 Rehabilitasi
pada Areal di Luar Jalur Hijau Mangrove
BAB
III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
BAB II
HUTAN BAKAU
2.1 Pengertian Hutan Bakau
Hutan bakau
atau disebut juga hutan mangrove
merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis
pohon mangrove yang mampu utmbuh danberkembangbiak di atas rawa-rawa berair payau yang
terletak pada garis
pantai
dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut.
Hutan ini
tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan
akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran ombak, maupun
di sekitar muara sungai di mana
air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu. Pada kawasan yang memiliki ombak
yang kuat, benih tidak dapat tertanam dengan baik sehingga tidak dapat tumbuh
akar.
Ekosistem
hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan
kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya
yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut.
Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan
jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati
proses adaptasi dan evolusi.
Kawasan pesisir
dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara
timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-masing elmen dalam ekosistem
memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen
ekosistem dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh
terhadap keseimbangan ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen
yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan
menetralisir bahan-bahan pencemar.
2.2 Klasifikasi
Hutan Mangrove Berdasarkan Geomorfologi dan Jenis tumbuhan Bakau
2.2.1 Klasifikasi Hutan Mangrove
Berdasarkan Geomorfologi
Ada enam
jenis hutan bakau berdasarkan geomorfologi. Jenis-jenis tersebut ialah:
1.
Overwash
mangrove forest
Mangrove
merah merupakan jenis yang dominan di pulau ini yang sering dibanjiri dan
dibilas oleh pasang, menghasilkan ekspor bahan organik dengan tingkat yang
tinggi. Tinggi pohon maksimum adalah sekitar 7 meter.
Gambar 1
Overwash mangrove forest
Sumber :
acehpedia.org
2.
Fringe
mangrove forest
Mangrove
fringe ini ditemukan sepanjang terusan air, digambarkan sepanjang garis pantai
yang tingginya lebih dari rata-rata pasang naik. Ketinggian mangrove maksimum
adalah sekitar 10 meter.
Gambar 2
Fringe mangrove forest
Sumber :
acehpedia.org
3.
Riverine
mangrove forest
Kelompok
ini mungkin adalah hutan yang tinggi letaknya sepanjang daerah pasang surut
sungai dan teluk, merupakan daerah pembilasan reguler. Ketiga jenis
bakau, yaitu putih (Laguncularia racemosa), hitam (Avicennia
germinans) dan mangrove merah (Rhizophora mangle) adalah
terdapat di dalamnya. Tingginya rata- rata dapat mencapai 18-20 meter.
Gambar 3
Riverine mangrove forest
Sumber :
acehpedia.org
4.
Basin
mangrove forest
Kelompok
ini biasanya adalah jenis yang kerdil terletak di bagian dalam rawa
Karena tekanan runoff terestrial yang menyebabkan terbentuknya cekungan
atau terusan ke arah pantai. Bakau merah terdapat dimana ada pasang surut
yang membilas tetapi ke arah yang lebih dekat pulau, mangrove putih
dan hitam lebih mendominasi. Pohon dapat mencapai tinggi 15 meter.
Gambar 4
Basin mangrove forest
Sumber :
acehpedia.org
5.
Hammock
forest
Biasanya
serupa dengan tipe (4) di atas tetapi mereka ditemukan pada lokasi
sedikit lebih tinggi dari area yang melingkupi. Semua jenis ada
tetapi tingginya jarang lebih dari 5 meter.
Gambar 5
Hammock forest
Sumber :
acehpedia.org
6.
Scrub
or dwarf forest
Jenis
komunitas ini secara khas ditemukan di pinggiran yang rendah. Semua
dari tiga jenis ditemukan tetapi jarang melebihi 1.5 m ( 4.9 kaki).
Nutrient merupakan faktor pembatas.
Gambar 6
Scrub or dwarf forest
Sumber :
acehpedia.org
2.2.2 Jenis Tumbuhan Bakau
Ada tiga
jenis bakau yang biasa dijumpai di hutan-hutan bakau di Indonesia. Jenis-jenis
tersebut ialah:
1.
Bakau minyak
Memiliki
nama ilmiah Rhizophora apiculata
Bl. (atau sering pula disebut R. conjugata L.), bakau minyak juga
disebut dengan nama bakau tandok, bakau akik, bakau kacang dan lain-lain.
Tandanya, dengan warna kemerahan pada tangkai daun dan sisi bawah daun.
Bunga
biasanya berkelompok dua-dua, dengan daun mahkota gundul dan kekuningan. Buah
kecil, coklat, panjangnya 2 – 3,5 cm. Hipokotil dengan warna kemerahan atau
jingga, dan merah pada leher kotiledon bila
sudah matang. Panjang hipokotil sekitar 18 – 38 cm.
Menyukai
tanah berlumpur halus dan dalam, yang tergenang jika pasang serta terkena
pengaruh masukan air tawar yang tetap dan kuat. Menyebar mulai dari Sri Lanka, Semenanjung
Malaya,
seluruh Indonesia, sampai
ke Australia tropis
dan pulau-pulau di Pasifik.
Gambar
7 Bakau Minyak
2.
Bakau kurap
Nama
ilmiahnya adalah Rhizophora
mucronata Poir. Juga disebut dengan nama-nama lain seperti bakau
betul, bakau hitam dan lain-lain. Kulit batang hitam, memecah datar.
Bunga
berkelompok, 4-8 kuntum. Daun mahkota putih, berambut panjang hingga 9 mm. Buah
bentuk telur, hijau kecoklatan, 5 – 7 cm. Hipokotil besar, kasar dan berbintil,
panjang 36 – 70 cm. Leher kotiledon kuning jika matang.
Sering
bercampur dengan bakau minyak,
namun lebih toleran terhadap substrat yang lebih keras dan berpasir. Lebih
menyukai substrat yang tergenang dalam dan kaya humus; jarang sekali didapati
di tempat yang jauh dari pasang surut. Menyebar luas mulai dari Afrika timur, Madagaskar, Mauritania, Asia Tenggara,
kepulauan Nusantara, Melanesia dan Mikronesia.
Diintroduksi ke Hawaii.
Gambar 8
Bakau Kurap
Sumber : www.proseanet.org
3.
Bakau kecil
Pohon
dengan satu atau banyak batang. Tidak seperti dua kerabatnya terdahulu yang
dapat mencapai 30 m, bakau kecil hanya tumbuh sampai dengan tinggi sekitar 10
m. Nama ilmiahnya adalah Rhizophora
stylosa Griff.
Bunga
dalam kelompok besar, 8-16 kuntum, kecil-kecil. Daun mahkota putih, berambut
panjang hingga 8 mm. Buah coklat kecil, panjang s/d 4 cm. Hipokotil berbintil
agak halus, 20-35 cm (kadang-kadang 50 cm); leher kotiledon kuning kehijauan
ketika matang.
Bakau
ini menempati habitat yang paling beragam. Mulai dari lumpur, pasir sampai
pecahan batu atau karang. Mulai dari tepi pantai hingga daratan yang mengering.
Terutama di tepian pulau yang berkarang. Diketahui menyebar di Taiwan, Filipina,
Malaysia, Papua
Nugini,
dan Australia tropis. Di Indonesia didapati mulai dari Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Menurut
Tomlinson (1986) jenis tanaman bakau dapat dibagi ke dalam lima keluarga dengan
genus yang berbeda-beda di setiapnya.
1. Acanthaceae, Avicenniaceae atau Verbenaceae (black mangrove)
Avicennia adalah
sebuah genus pohon bakau. Jenis ini muncul di daerah muara, dan memiliki akar
napas. Jenis-jenis avicennia banyak terdapat di sebelah selatan Garis
Balik Utara. Avicennia dalam bahasa Indonesia disebut juga api-api.
Gambar 9 Bakau
Hitam
Sumber : stuffsandhopes.blogspot.com
2. Combretaceae
(white mangrove)
Combretaceae
adalah suatu keluarga dari tanaman berbunga. Keluarga ini mencakup sekitar 600
jenis pohon, shrubs, dan liana dalam 20 genera. Keluarga ini meliputi
pohon Leadwood, Combretum imberbe. Tiga genera, yaitu Conocarpus,
Laguncularia dan Lumnitzera, tumbuh di habitat mangrove. Combretaceae tersebar
luas di daerah subtropis dan tropis. Beberapa anggota keluarga ini berguna konstruksi
kayu, seperti idigbo dari Terminalia ivorensis.
Gambar 10
Bakau Putih
Sumber :
stuffsandhopes.blogspot.com
3. Arecaceae
(mangrove palm)
Palm
atau Palmae atau Panamea (juga dikenal dengan nama umum pohon palem),
merupakan anggota dari keluarga tanaman monokotil, Arecales. Ada sekitar 202
jenis yang saat ini diketahui sekitar 2600 spesies, yang sebagian besar berada
di tropis, subtropis dan iklim sedang dan hangat. Pohon palem diketahui cirinya
dari ukurannya yang besar, kompleks, dan daun-daun hijau yang terdapat di ujung
batang yang tidak bercabang. Namun, banyak pohon palem yang tidak memenuhi
karakteristik di atas. Selain beragam secara morfologi, pohon kelapa juga
mendiami hampir setiap habitat selain di pantai, dari hutan hujan sampai gurun.
Gambar 11 Bakau Palem
Sumber : stuffsandhopes.blogspot.com
4. Rhizoporaceae
(red mangrove)
Rhizophoraceae
merupakan sebuauh keluarga bakau yang terdiri dari tanaman-tanaman berbunga
daerah tropis dan subtropis. Pohon bakau merupakan anggota yang paling
terkenal, dari genus Rhizophora. Terdapat sekitar 120 spesies tersebar dalam 16
genera, kebanyakan di Asia dan Afrika.
Gambar 12 Bakau Merah
Sumber : stuffsandhopes.blogspot.com
5. Lythraceae
(mangrove apple)
Lythraceae
adalah sebuah keluarga tanaman yang terdiri tanaman berbunga. Keluarga ini
beranggotakan 500-600 spesies kebanyakan jenis tumbuhan, dengan pohon dan
beberapa shrubs, dalam 32 genera. Lythraceae memiliki persebaran di
seluruh dunia, dengan sebagian besar spesies di daerah tropis tetapi di daerah
beriklim sedang juga. Tanaman delima juga termasuk keluarga ini.
Gambar 13 Bakau Apel
Sumber : stuffsandhopes.blogspot.com
2.3 Luas dan Penyebaran
Hutan-hutan
bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling
khatulistiwa di
wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan bakau Indonesia antara
2,5 hingga 4,5 juta hektar,
merupakan mangrove yang terluas di dunia, dari total luas hutan mangrove di seluruh
dunia yang jumlahnya mencapai 18 juta hectare. Jumlah itu, setara dengan 3,8%
dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan, melebihi Brazil (1,3
juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam
Noor dkk, 1999).
Di
Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang
relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di
pantai timur Sumatra, dan
pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai
utara Jawa,
hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan.
Di bagian
timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul,
hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama
di sekitar Teluk
Bintuni.
Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan
bakau Indonesia.
Gambar 14
Peta Penyabaran Hutan Bakau di Indonesia
Sumber : ajiputrap.blogspot.com
2.4 Fungsi Hutan Bakau
Menurut
Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat
sebagai berikut :
1. Habitat satwa langka
Hutan
bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup
disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan
tempat mendaratnya ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung
langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus)
Gambar 15 Hutan
Bakau Sebagai Habitat Satwa Langka
Sumber : www.jochemnet.de
2. Pelindung terhadap bencana alam
Vegetasi
hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami
dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses
filtrasi.
Gambar
16 Bakau Sebagai Pemecah Ombak
Sumber
: sovia-rini-biologi.blogspot.com
3. Pengendapan lumpur
Sifat
fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan
lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena
bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan
bakau, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.
4. Penambah unsur hara
Sifat
fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan.
Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari
berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.
5. Penambat racun
Banyak
racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan
lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa
spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan racun
secara aktif
6. Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
Hasil
alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau mineral yang
dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam
ex-situ meliputi produk-produk alamiah di hutan mangrove dan
terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian digunakan oleh masyarakat di
daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan
fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.
7. Sumber plasma nutfah
Plasma
nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan
jenis-jenis satwa komersial maupun untuk memelihara populasi kehidupan liar itu
sendiri.
8. Rekreasi dan pariwisata
Hutan
bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan
yang ada di dalamnya. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek
wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI),
Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa
Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek
wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara
darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga
memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Padang,
Sumatera Barat yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan
hutan, memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata mangrove.
Kegiatan
wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui
penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian
masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan
berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu
wisata.
Gambar 17 Wisata Hutan Bakau Muara Angke
Sumber : matanews.com
9. Sarana pendidikan dan penelitian
Upaya
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang
yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.
10. Memelihara proses-proses dan sistem alami
Hutan
bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses
ekologi, geomorfologi, atau geologi di dalamnya.
Gambar 18 Rantai Makanan di Kawasan Mangrove
Sumber
: www.jochemnet.de
11. Penyerapan karbon
Proses
fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam
bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan
melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi hutan bakau
justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu,
hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber
karbon.
12. Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi
hutan bakau mampu menjaga kelembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga
keseimbangan iklim mikro terjaga.
2.5 Manfaat Hutan Bakau
2.5.1 Manfaat Hutan Bakau Bagi Perikanan
Dalam
tinjauan siklus biomassa, hutan mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap
ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak
ikan, tempat kawin/pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi
organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik
(detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove (seperti daun,
ranting dan bunga). Selama proses dekomposisi, serasah mangrove
berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber
makanan bagi berbagai organisme pemakan deposit seperti moluska, kepiting dang
cacing polychaeta. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat
dua, biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil selanjutnya
dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga
Singkatnya, hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat bagi
aneka ragamjenis-jenis komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun
sebagian dari siklus hidupnya.
Gambar 19
Bakau Sebagai Habitat Organisme air
Sumber : www.jochemnet.de
2.5.2 Manfaat Hutan Bakau Bagi Perekonomian
Berdasarkan
kajian ekonomi terhadap hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan
mangrove (bakau) ternyata sangat mengejutkan, di beberapa daerah seperti Madura
dan Irian Jaya dapat mencapai triliunan rupiah, kata Asisten Deputi Urusan
Eksosistem Pesisir dan Laut Kementerian Lingkungan Hidup, Dr LH Sudharyono.
Pada
Workshop Perencanaan Strategis Pengendalian Kerusakan Hutan Mangrove se-Sumatera
di Bandar Lampung terungkap bahwa hasil penelitian Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan IPB-Bogor dengan Kantor Menteri Negara LH (1995) tentang
hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove Hasilnya ternyata
sangat mencengangkan, di Pulau Madura, diperoleh Total Economic Value (TEV)
sebesar Rp 49 trilyun, untuk Irian Jaya Rp. 329 trilyun, Kalimantan Timur
sebesar Rp. 178 trilyun dan Jabar Rp. 1,357 trilyun. Total TEV untuk seluruh Indonesia mencapai Rp. 820 trilyun.
Kayu bakau
memiliki kegunaan yang baik sebagai bahan bangunan, kayu bakar, dan
terutama sebagai bahan pembuat arang. Kulit
kayu menghasilkan tanin yang
digunakan sebagai bahan penyamak.
Sebagai kayu
bakar, secara tradisional masyarakat biasa memakai jenis Xylocarpus (Nirih atau
Nyirih). Sedangkan untuk bahan baku pembuat arang biasa dipakai Rhizophora sp.,
sedangkan penggunaan kulit kayu bakau untuk diambil tanninnya, hampir-hampir
tidak terdengar lagi.
Satu lagi
kegunaan kayu bakau, adalah untuk bahan kertas. Kayu bakau biasa dicincang
dengan mesin potong menghasilkan serpihan kayu / wood chips. Menurut berita,
jenis kertas yang dibuat dari kayu bakau adalah termasuk kertas kualitas
tinggi.
Kegunaan
dari hutan bakau yang paling besar adalah sebagai penyeimbang ekologis dan
sumber (langsung atau tidak langsung) pendapatan masyarakat pesisir, di mana
peran pemerintah untuk pengaturannya masih sangat minim.
2.6 Faktor Penyebab Kerusakan Kawasan Mangrove
Akar
Permasalahan
o Kependudukan dan Kemiskinan
o Tingkat Konsumsi Berlebihan
dan Kesenjangan Sumberdaya Alam
o Kelembagaan dan Penegakan
Hukum
o Rendahnya Pemahaman tentang
Ekosistem
o Kegagalan sistem Ekonomi
dan Kebijakan dalam Penilaian Ekosistem
Gambar 20 Hutan
Bakau yang Rusak
Sumber :
purboari.blogspot.com
Penyebab rusaknya ekosistem
mangrove antara lain :
1. Over eksploitasi
2. Penggunaan Teknik dan Peralatan Penangkapan
Ikan yang merusak Lingkungan
o
Alat
Pengumpul Ikan: Harus dibatasi baik jumlah maupun ukuran agar tidak terjadi
tangkap lebih dan mengganggu daur hidup
o
Bahan
Peledak, Beracun, dan Pukat Harimau: Mematikan organisme lain yang bukan
target, Penggunaan bom 0,5 kg menghancurkan tk pd radius 3 m dan pd radius lbh
dr 3 m Acropora patah-patah
Gambar 21
Peledakan di Kawasan Hutan Bakau
3. Degradasi Fisik Habitat Hayati
Gambar 22
Degradasi
Sumber :
www.oceanclimatechange.org
4. Konversi Kawasan Perlindungan Laut
o
Pembangunan
kawasan pemukiman
Gambar 23
Reklamasi pantai
Sumber :
nasional.kompas.com
o
Kegiatan
rekreasi dan pariwisata
o
Konversi
mangrove untuk berbagai peruntukan
o
Pembangunan
berbagai industri
5. Perubahan Iklim Global dan Bencana Alam
o
Bleaching
o
Tsunami
6.
usaha tambak udang
7.
penebangan
kayu dan logging
8.
penambangan
minyak lepas pantai
9.
pencemaran
bibir pantai
10.
urbanisasi
dan perluasan wilayah
11.
pembangunan
jalan dan infrastruktur
Pencemaran pada hutan bakau dapat menimbulkan dampak lanjutan sebagai berikut :
1.
Sedimentasi
Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan
material yang ditransport oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu cekungan.
2.
Eutrofikasi
Eutrofikasi merupakan problem lingkungan hidup yang diakibatkan oleh
limbah fosfat (PO3-), khususnya dalam ekosistem air tawar. Definisi dasarnya adalah pencemaran air yang
disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Air
dikatakan eutrofik jika konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada
dalam rentang 35-100 µg/L. Sejatinya, eutrofikasi merupakan sebuah proses
alamiah di mana danau mengalami penuaan secara bertahap dan menjadi lebih
produktif bagi tumbuhnya biomassa. Diperlukan proses ribuan tahun untuk sampai
pada kondisi eutrofik. Proses alamiah ini, oleh manusia dengan segala aktivitas
modernnya, secara tidak disadari dipercepat menjadi dalam hitungan beberapa
dekade atau bahkan beberapa tahun saja.
Gambar 24
Eutrofikasi Hutan Bakau
Sumber :
www.lifeinfreshwater.org
3.
Kekurangan
Oksigen
4.
Masalah
Kesehatan Umum
5.
Pengaruh
Terhadap Perikanan
Tabel 1 Dampak Kegiatan
Manusia Terhadap Hutan Bakau
Kegiatan
|
Dampak potensial
|
Tebang
habis
|
Berubahnya
komposisi tumbuhan : pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh
spesies-spesies yang nilai ekonomisnya rendah dan hutan yang ditebang ini
tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah
pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium
muda yang penting secara ekonomi.
|
Pengalihan
aliran air tawar terutama pada pembangunan irigasi
|
·
Peningkatan salinitas hutan mangrove
menyebabkan dominasi dari spesies–spesies yang lebih toleran terhadap air yang
menjadi lebih asin. Ikan dan udang dalam stadium larva mungkin tak dapat mentoleransi
peningkatan salinitas karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan
lingkungan
·
Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove
karena pasokan unsur hara melalui aliran air tawar berkurang
|
Konversi
menjadi lahan pertanian dan perikanan
|
·
Mengancam regenerasi stok udang dan ikan yng
memerlukan hutan mangrove nursery ground larva udang dan ikan atau stadium
muda ikan atau udang
·
Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar
yang sebelum mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan bakau
·
Intrusi garam melalui saluran-saluran alam
yang atau melalui saluran-saluran yang dibuat manusia yang bermuara di laut
·
Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi
mangrove
|
Pembuangan
samoah cair (sewage)
|
Penurunan
kandungan oksigen terlarut dalam air. Bahkan dapat terjadi keadaan asoksik dalam air sehingga bahan
organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen
sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) yang keduanya merupakan
racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk
yang dapat dijadikan indiksi terjadinya dekomposisi anaerob
|
Pembuangan
sampah padat
|
·
Kemungkinan terlapisnya pneumatofora oleh
sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pada pohon mengrove
·
Perembesan bahan pencemar pada sampah
padat yang kemudian larut dalam air di
sekitar ke perairan pembuangan sampah
|
Pencemaran
minyak yang disebabkan oleh tumpahan minyak dalam jumlah besar
|
·
Kemungkinan terlapisnya pneumatofora oleh
minyak yang akan mengakibatkan kematian pada pohon mengrove
|
Pembuangan
dan ekstraksi mineral
|
·
Rusaknya daerah asuhan (nursery ground) bagi
larva ikan dan udang yang bernilai ekonomis penting di lepas pantai dan
kemudian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut
·
Pengendapan yang berlebihan yang dapat
mematikan tumbuhan mengrove.
|
2.8 Alternatif Rahabilitasi Kawasan Mangrove
Secara
garis besar alternatif rehabilitasi kawasan mangrove untuk propinsi Jawa Barat
dan Banten terbagi ke dalam dua lokasi sasaran, yakni (1) rehabilitasi pada
areal jalur hijau mangrove dan (2) rehabilitasi pada areal di luar jalur hijau
mangrove. Bentuk dan teknik rehabilitasi pada setiap daerah sasaran didasarkan
kepada fungsi kawasan, kondisi biofisik sumberdaya mangrove dan sosial ekonomi
masyarakat sekitar kawasan mangrove.
2.8.1 Keseuaian jenis Pohon dengan Habitatnya (Species-Site Matching)
Kegiatan species-site
matching sangat berguna untuk menunjang keberhasilan penanaman suatu lahan,
karena dengan kegiatan ini akan diketahui kesesuaian suatu jenis tumbuhan
dengan lingkungannya.
Khusus
untuk mangrove, faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk melakukan species-site
matching adalah salinitas, frekuensi penggenangan, tekstur tanah (kandungan
pasir dan liat/lumpur), dan kekuatan ombak dan angin. Untuk lebih jelasnya
keseuaian beberapa jenis mangrove dengan faktor lingkungannya dapat dilihat
pada Tabel 2.7.1.
Tabel 2
Kesesuaian Beberapa Jenis Mangrove dengan Faktor-faktor Lingkungan (Kusmana, et
al., 1997, Kusmana dan Onrizal, 1998)
No.
|
Jenis
|
Salinitas
(o/oo)
|
Toleransi
terhadap Kekuatan Ombak dan Angin
|
Toleransi
terhadap Kandungan Pasir
|
Toleransi
terhadap Lumpur
|
Frekuensi
Penggenangan
|
1.
|
Rhizophora mucronata
|
10 -30
|
ST
|
MD
|
ST
|
20 hari/bln
|
2.
|
R. sylosa
|
10 -30
|
MD
|
ST
|
ST
|
20 hari/bln
|
3.
|
R. apiculata
|
10 -30
|
MD
|
MD
|
ST
|
20 hari/bln
|
4.
|
Bruguiera parviflora
|
10 -30
|
SV
|
MD
|
ST
|
10-19 hari/bln
|
5.
|
B. sexangula
|
10 -30
|
SV
|
MD
|
ST
|
10-19 hari/bln
|
6.
|
B. gymnorrhiza
|
10 -30
|
SV
|
SV
|
MD
|
10-19 hari/bln
|
7.
|
Sonneratia alba
|
10 -30
|
MD
|
ST
|
ST
|
20 hari/bln
|
8.
|
S. caseolaris
|
10 -30
|
MD
|
MD
|
MD
|
20 hari/bln
|
9.
|
Xylocarpus granatum
|
10 -30
|
SV
|
MD
|
MD
|
9 hari/bln
|
10.
|
Heritiera littoralis
|
10 -30
|
VS
|
MD
|
MD
|
9 hari/bln
|
11.
|
Lumnitzera racemosa
|
10 -30
|
VS
|
ST
|
MD
|
Bbrp kali/thn
|
12.
|
Cerbera manghas
|
0 - 10
|
VS
|
MD
|
MD
|
Tergenang musiman
|
13.
|
Nypa fruticans
|
0 - 10
|
VS
|
SV
|
ST
|
Tergenang musiman
|
14.
|
Avicennia spp.
|
10 -30
|
MD
|
ST
|
ST
|
20 hari/bln
|
Keterangan : ST
= Sesuai, MD = Moderat, SV = Kurang Sesuai, VS = Tidak Sesuai
Sebagai
arahan lebih lanjut bagi upaya pemilihan jenis mangrove yang akan ditanam, maka
pada Tabel 6.2. disajikan beberapa jenis pohon mangrove yang direkomendasikan
ditanam disetiap land system setelah mempertimbangkan kondisi
faktor-faktor lingkungan tapak.
Tabel 3
Jenis pohon mangrove yang sesuai untuk merehabilitasi jalur hijau mangrove di
setiap land system di Jawa Barat dan Banten
No.
|
Land
system
|
Jenis
Pohon
|
1.
|
PRT
|
Rhizophora stylosa,
Sonneratia alba, Lumnitzera racemosa, Avicennia spp.
|
2.
|
KHY
|
Rhizophora mucronata,
Rhizophora apiculata, Bruguiera parviflora, Bruguiera sexangula, Avicennia spp.,
Sonneratia spp.
|
3.
|
PTG
|
Rhizophora mucronata,
Rhizophora apiculata, Bruguiera parviflora, Bruguiera sexangula, Avicennia spp.,
Sonneratia spp., Excoecaria agallocha, Ceriops tagal.
|
4.
|
MKS
|
Rhizophora mucronata,
Rhizophora apiculata, Bruguiera parviflora, Bruguiera sexangula, Avicennia spp.,
Sonneratia spp., Excoecaria agallocha, Ceriops tagal.
|
5.
|
KJP
|
Avicennia spp.,
Sonneratia spp., Rhizophora spp., Bruguiera spp.
|
2.8.2 Teknik Rehabilitasi
Secara garis besar alternatif rehabilitasi kawasan
mangrove terbagi ke dalam dua lokasi sasaran, yakni (1) rehabilitasi pada areal
jalur hijau mangrove dan (2) rehabilitasi pada areal di luar jalur hijau
mangrove. Bentuk dan teknik rehabilitasi pada setiap daerah sasaran didasarkan
kepada fungsi kawasan, kondisi biofisik sumberdaya mangrove dan sosial ekonomi
masyarakat sekitar kawasan mangrove.
2.8.2.1 Rehabilitasi pada Areal Jalur Hijau
Mangrove
Areal jalur hijau mangrove berdasarkan
Keppres No. 32 tahun 1990 berfungsi sebagai kawasan lindung, sehingga bentuk
kegiatan rehabilitasi yang dilakukan pada areal jalur hijau mangrove ini harus
mendukung fungsi lindung kawasan mangrove tersebut.
Bentuk kegiatan rehabilitasi pada jalur hijau
mangrove yang mendukung fungsi lindungnya adalah kegiatan reboisasi (pada areal
berstatus sebagai kawasan hutan) dan kegiatan penghijauan (pada areal berstatus
sebagai kawasan non hutan/tanah milik) dengan jarak yang cukup rapat (1 x 1 m)
dan dengan jenis pohon mangrove yang sesuai dengan kondisi biofisik areal jalur
hijau mangrove pada masing-masing land system, seperti yang tertera pada Tabel
5.2. di atas.
Pada areal jalur hijau mangrove ini tidak
dibenarkan adanya kegiatan selain dari kegiatan yang berhubungan dengan penanaman
(reboisasi atau penghijauan), kecuali areal jalur hijau mangrove tersebut
termasuk ke dalam kawasan hutan wisata. Untuk areal jalur hijau mangrove yang
dikelola sebagai hutan wisata, bentuk kegiatan yang dibenarkan selain kegiatan
penanaman adalah terbatas hanya pada pembuatan koridor yang berfungsi sebagai
lalu lintas perahu atau speed boat.
2.8.2.2 Rehabilitasi pada Areal di Luar Jalur
Hijau Mangrove
Berdasarkan fungsinya, areal di luar jalur
hijau mangrove terbagi atas (a) hutan lindung dan (b) hutan produksi/budidaya.
Bentuk kegiatan rehabilitasi terhadap areal di luar jalur hijau ini harus
disesuaikan dengan fungsi masing-masing lokasi sasaran.
a.
Rehabilitasi pada Hutan Lindung
Pada areal di luar jalur hijau mangrove yang
berfungsi sebagai hutan lindung bentuk kegiatan rehabilitasinya adalah kegiatan
reboisasi pada kawasan yang kritis dengan jenis pohon mangrove yang sesuai dan
dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing lokasi
sasaran. Pada kawasan hutan lindung ini, seperti halnya pada areal jalur hijau
mangrove, tidak diperbolehkan adanya aktivitas yang tidak berhubungan dengan
kegiatan reboisasi, kecuali kawasan hutan lindung tersebut termasuk areal yang
dikelola sebagai hutan wisata. Untuk kawasan hutan lindung yang dikelola
sebagai hutan wisata ini, aktivitas lain yang diperbolehkan terbatas hanya pada
kegiatan pembuatan koridor yang berfungsi sebagai lalu lintas baik untuk
perahu, speed boat, maupun untuk pejalan kaki.
b.
Rehabilitasi pada Hutan Produksi/Budidaya
Status areal di luar jalur hijau mangrove
yang berfungsi sebagai hutan produksi/ budidaya dapat berupa (1) kawasan hutan
dan (2) kawasan non hutan/tanah milik. Oleh karenanya, rehabilitasi terhadap
lokasi ini selain harus memperhatikan kondisi biofisik dan sosial ekonomi
masyarakat di sekitar kawasan, juga harus memperhatikan status kawasan. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadinya tumpang tindih pihak yang berwenang melakukan
pengelolaan terhadap suatu kawasan. Walaupun demikian, faktor yang sangat
penting dalam penentuan bentuk kegiatan rehabilitasi kawasan mangrove yang
berfungsi sebagai hutan produksi/budidaya ini adalah faktor kondisi sosial
ekonomi masyarakat di sekitar kawasan.
Berdasarkan identifikasi penyebab kerusakan
mangrove di Jawa Barat dan Banten, seperti yang disajikan pada bagian Kondisi
Fisik dan Sosial Ekonomi, terlihat bahwa kerusakan sumberdaya mangrove dan
ekosistemnya di lima propinsi sasaran sangat dominan disebabkan oleh alih
fungsi kawasan mangrove menjadi lahan tambak dengan mengabaikan aspek
kelestarian sumberdaya mangrove dan ekosistemnya. Pengusahaan kawasan mangrove
tersebut menjadi tambak sebagian besar dilakukan oleh pengusaha yang
berdomisili/berasal dari luar kawasan mangrove, seperti Jakarta dan ibu kota
propinsi. Oleh karena itu, pola rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak
tersebut harus dapat mengkombinasikan kelestarian sumberdaya mangrove dan
ekosistemnya dengan usaha pertambakan. Untuk saat ini, pola rehabilitasi
kawasan mangrove yang rusak tersebut yang memenuhi persyaratan di atas adalah
pola pengelolaan dengan sistem sylvofishery, baik dengan model empang
parit, model komplangan maupun model jalur tanaman dalam tambak.
Perbandingan luas antara hutan mangrove dan
tambak pada sistem sylvofishery didasarkan pada status kawasan mangrove,
kondisi tegakan dan tujuan pengelolaan. Untuk menentukan perbandingan luas
antara hutan mangrove dan tambak yang optimal sangat diperlukan pengkajian
lebih lanjut. Walaupun demikian, untuk saat ini, berdasarkan uji coba yang
telah dilakukan Perum Perhutani, ada 2 (dua) macam perbandingan hutan mangrove
dengan tambak yang dianggap dapat menjamin kelestarian sumberdaya mangrove dan
ekosistemnya serta kelangsungan usaha pertambakan, yakni (1) 80 : 20, dimana 80
% luas areal yang dikelola harus tetap berupa hutan mangrove dan 20 % berupa
tambak dan (2) 30 : 70, dimana 30 % dari luas areal yang dikelola berupa hutan
mangrove dan 70 % berupa tambak.
Perbandingan hutan mangrove dan tambak
sebesar 80 : 20 diterapkan pada hutan mangrove yang masih utuh , baik yang
berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan/tanah milik. Perbandingan
ini lebih menekankan kepada aspek kelestarian sumberdaya mangrove dan
ekosistemnya daripada hasil tambak, berupa ikan atau udang.
Sedangkan perbandingan hutan mangrove dan
tambak sebesar 30 : 70 digunakan untuk hutan mangrove yang berada di luar
kawasan hutan yang telah banyak dibuka/digarap guna peruntukan lain.
Perbandingan ini lebih diarahkan untuk memberi peluang kepada masyarakat dalam
meningkatkan hasil pendapatan dari produksi tambak berupa ikan atau udang tanpa
meninggalkan aspek kelestariannya.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
Alam
memiliki siklus regenerasi yang seimbang. Adanya campur tangan manusia
menyebabkan percepatan kerusakan lingkungan. Terdapat berbagai cara untuk
merehabilitasi lingkungan yang telah rusak, namun dibutuhkan waktu yang sangat
lama untuk mengembalikan lingkungan seperti sedia kala. Selain itu kondisinya
tidak akan lebih baik dibandingkan apa yang dikerjakan alam secara alami.
Contohnya
adalah hutan bakau di Indonesia yang hanya dalam 13 tahun luasnya berkurang
mencapai 60%. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena hutan bakau memiliki
peranan penting bagi ekosistem maupun manusia.
Oleh
karena itu sebagai generasi pewaris bumi kita perlu melestarikan keberadaan
hutan bakau untuk kehidupan manusia yang akan datang. Cara-cara tersebut antara
lain dengan menghentikan segala bentuk aktivitas yang dapat merusak hutan bakau
dan melakukan usaha rehabilitasi.
3.2
Saran
Untuk melestarikan
keberadaan hutan bakau maka penyusun menyarankan agar masyarakat menghentikan
segala bentuk aktivitas yang dapat merusak hutan bakau dan melakukan usaha
rehabilitasi baik untuk mencegah kerusakan hutan bakau maupun memulihkan
kembali kondisi hutan bakau yang telah rusak. Selain itu pemerintah juga perlu
mempertegas undang-undang yang mengatur tentang perusakan kawasan hutan dan
menggalakkan program-program penyelamatan hutan bakau.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan (27
Desember 2010)
http://matanews.com/2010/12/21/berwisata-sambil-melestarikan-lingkungan/ (27 Desember 2010)
http://purboari.blogspot.com/2009/10/hutan-mangrove.html (27
Desember 2010)
http://sovia-rini-biologi.blogspot.com/ (27
Desember 2010)
http://stuffsandhopes.blogspot.com/2009/05/bakau-dan-persebarannya-di-indonesia.html
(27 Desember 2010)
http://web.ipb.ac.id/~mujizat/index.php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=40 (27 Desember 2010)
http://www.epa.qld.gov.au/wetlandinfo/site/SupportTools/MonitoringExtentAndCondition/Stressormodeloverview/OrganicMatter/Condition.html (27
Desember 2010)
http://www.jochemnet.de/fiu/OCB3043_37.html (27 Desember 2010)
http://www.oceanclimatechange.org.au/content/index.php/site/background_extended/australias_marine_life/ (27 Desember 2010)
http://www.royal-navy.org/lib/index.php?title=Navy_team_destroys_Firth_of_Forth_bomb (27
Desember 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar